Hai semua ! Inem nongol lagi nih ðŸ¤. Kali ini inem mau berbagi kisah yang menceritakan lika liku untuk menjemput Bapak Penghulu. Kalo ketemu doang sih gampang, tapi kalo bertemu Pak penghulu buat dapetin dua buku yang tertera fotoku dan fotomu beuhhhh susah bener. Inem mulai sekarang aja ceritanya, takutnya Inem keburu lupa apa yang mau Inem tulis,soalnya Inem kalo nulis mirip tukang tahu bulat, sukanya di bikin dadakan ðŸ¤
Selamat membaca...
Ini kisahku dengan dia yang tak pernah kuduga. Aku dan dia dipertemukan Tuhan dengan cara yang unik dan dipersatukan dengan cara yang terbilang sulit.
Saat itu aku sedang dalam keadaan yang kurang sehat, mau nya hanya berbaring di tempat tidur. Sampai mengambil makan harus Ibuku yang ambilkan.
* Trinkkk * nada pesan masuk itu terdengar olehku yang tengah berbaring.
Dengan tangan yang lemas karena hanya sedikit makanan yang masuk ke dalam perutku, aku bersusah payah mengambil ponsel karena takut itu pesan penting.
" Hai !! " isi pesan yang tertera di layar ponsel yang entah dari siapa karena nomor pengirim tidak terdaftar di kontakku.
Saat aku membalas dan mencoba bertanya dia siapa, dia malah menyuruhku untuk menebak siapa dirinya.
" Aneh !" Gerutuku dalam hati.
Dengan pembahasan yang panjang lebar, akhirnya dia memberitahu siapa dirinya.
" Rian, kamu Siera kan? ", balasnya setelah aku memaksa dia untuk segera memberitahuku siapa nama nya, sekaligus memastikan kalau aku perempuan yang dia maksud atau bukan.
Aku pun langsung teringat dengan laki-laki yang pernah satu kelas denganku saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Tapi pada saat itu kami tidak begitu akrab, hanya sesekali menyapa.
" Iyah, kamu Rian yang pernah satu kelas sama aku kan?" Kini giliranku yang memberikan pertanyaan, dan dia pun mengiyakan pertanyaan dariku.
Setelah kami saling balas pesan, akhirnya aku tau darimana dia mendapatkan nomorku dan apa tujuannya.
Rupanya dia diam-diam menyimpan nomorku dari grup acara reuni sekolah. Dan tujuan dia menghubungiku katanya hanya iseng.
Aku pun baru teringat kalau aku juga tergabung dalam grup itu dan salah satu temanku membuat grup dan dengan iseng nya Rian tiba-tiba menghubungiku.
Entah berapa jam kami saling membalas pesan, hingga aku lupa kalau sebelumnya aku sedang sakit, tapi tanpa disadari, aku seperti merasa baik-baik saja. Tidak mengeluhkan rasa pusing sedikitpun.
Selama tiga bulan ini kami masih berlanjut saling membalas pesan, kami mulai menjalin pertemanan yang begitu dekat, tidak seperti saat masih sekolah, berbincang panjang lebar pun tidak pernah.
Hari-hariku penuh warna setelah mengenal dia, tapi kami belum pernah bertemu lagi setelah tiga tahun lulus dari sekolah.
Saat ini kami hanya sebatas teman, tapi perhatian lewat pesan yang dia berikan seolah lebih dari sekedar teman.
" Jangan telat makan yah !"
Pesan itu sering dia ingatkan padaku. Lama-lama kami saling merasa nyaman satu sama lain.
" Mau gak kamu jadi pacarku?" Pertanyaan itu yang biasanya di utarakan saat meminta seseorang menjadi kekasihnya.
Tapi hal itu tidak terjadi pada kami berdua. Tanpa banyak kata, akhirnya kami pun mencoba menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman sebelum kami memutuskan untuk bertemu.
Sampai ketika dimana dia meminta untuk saling bertemu. Dan aku pun setuju.
Dengan rasa gugup dan detak jantung yang tidak menentu, aku menunggu dia di dekat mini market, kami sengaja memutuskan untuk bertemu di sana bukan karena aku tidak jujur kepada Ibuku, tapi karena dia tidak tahu letak rumahku.
Saat aku sedang bermain ponsel, laki-laki yang masih menggunakan kemeja kerja berhenti dengan motor nya tepat di hadapanku. Dia sengaja langsung menemuiku setelah jam kerja berakhir. Dan pada saat itu dia kebagian shift malam, jadi baru pulang esok harinya. Karena jarak rumahku lebih dekat dengan tempat dia bekerja, dia memutuskan untuk menemuiku terlebih dulu karena jarak rumahnya sekitar satu jam dari tempat dia bekerja.
Kami pun mengulang perkenalan lagi karena ini kali pertamanya kami bertemu lagi meskipun setiap hari kami saling berbalas pesan.
Dia tampak berbeda, sangat jauh ketika kami masih satu sekolah. Tampak jauh lebih tinggi dan masih dengan hidungnya yang mancung.
Diawali dengan menanyakan kabar satu sama lain. Setiap hari berkomunikasi lewat pesan singkat, rupanya tak menghilangkan rasa canggungku saat berhadapan langsung dengan dia.
Aku yakin dia merasakan dinginnya telapak tanganku saat tadi berjabat tangan dengannya.
" Yuk naik !" Kepalanya memberi isyarat agar aku segera duduk di motor yang sedang dia tumpangi.
Masih dengan perasaan yang tidak karuan, aku menggangguk dan dengan segera aku duduk tepat dibelakangnya. Rupanya dia hendak membawaku jalan-jalan. Selama di perjalanan pun dia yang lebih banyak bertanya, dan aku hanya menjawab. Sedangkan saat berbalas pesan, akulah yang lebih sering megeluarkan seribu ocehan.
Kami hanya beberapa jam mencari angin dan duduk-duduk di Taman, setelah itu dia mengantarku pulang. Tidak seharian kami bertemu karena aku pun tidak tega kalau membiarkan anak orang tidak tidur hanya karena bertemu denganku.
Aku meminta dia megantarku sampai di depan gerbang rumah tetanggaku. Pada saat itu, aku tidak membiarkan dia masuk ke rumahku. Aku pun belum siap untuk memperkenalkan dia pada Ibuku.
Pada saat itu pun aku sama sekali tidak memberikan nya air minum, sampai-sampai dia membeli minuman sendiri. Setiap kali ingat kejadian itu, aku selalu merasa bersalah, membiarkan laki-laki yang kini sudah jadi suamiku kehausan. Karena pada saat itu aku hanya berpikir kalau aku pulang dulu ke rumah, Ibuku pasti memintakaku untuk mengenalkan dirinya.
Aku bersikap seperti itu bukan tanpa sebab. Setelah bertemu dengannya hati dan pikiranku tiba-tiba membandingkan dia dengan masa laluku, yang akhirnya aku merasa dia tidak tepat untukku. Tapi hal itu tidak aku utarakan langsung padanya.
Setelah dia menghabiskan minumannya, sedangkan minumanku masih utuh di genggaman tanganku, akhirnya dia pamit pulang karena dia mulai mengeluhkan rasa kantuknya. Aku pun tidak tega jadinya.
" Hati-hati!" jawabku sesaat setelah dia berpamitan dan mulai melajukan motornya.
" Kalau dia menghubungiku nanti, aku harus jujur padanya. Ini tidak bisa aku lanjutkan ".
Gumamku dalam hati seraya berjalan kearah rumahku yang tak jauh dari rumah tetanggaku. Bagiku rumah itu jadi salah satu saksi awal takdir kami dipersatukan.
*BERSAMBUNG*
Penasaaran kan bagaimana kelanjutan kisah Rian dan Siera ?? Tunggu cerita Inem selanjutnya yahh 😊