Showing posts with label Cerbung : Senandung Pilu Putih Abu Abu Part 1. Show all posts
Showing posts with label Cerbung : Senandung Pilu Putih Abu Abu Part 1. Show all posts

Monday, January 17, 2022

Senandung Pilu Putih Abu Abu Part 2








Kurang lebih lima belas menit jarak dari rumahku ke sekolah, itupun kalau arus lalu lintas sedang lancar.

" Stop Bang !"  pinta seorang Ibu yang duduk di samping sopir.

Suara ibu itu sontak membuyarkan lamunanku. Aku lihat kearah depan, ternyata ibu itu berhenti di dekat toko klontong yang tidak jauh dari sekolahku.

Aku pikir lebih baik turun berbarengan dengan ibu itu saja, toh hanya tinggal beberapa langkah lagi menuju gerbang sekolah.

" Ini Bang !"   Aku menyodorkan selembar kertas yang tertera gambar pahlawan dari dalam saku bajuku.

" Ini kembalian nya Neng "  aku mengambil nya lalu ku masukkan ke kantung kecil yang menempel di bajuku.

" Makasih Bang !" 

 Sekolah sudah sangat dekat, dan langkahku terasa  berat. Tapi aku bisa apa, tidak mungkin aku bolos sekolah.

" Ayo kamu pasti bisa, kamu pemberani ."

 Ucapku dalam hati hanya untuk memberi semangat pada diri sendiri, yang sejujurnya aku mulai takut untuk melanjutkan langkahku.

 Detak jantungku berdegup begitu kencang, tubuhku seolah tak bertulang, aku tak mampu berjalan dengan benar. Hingga akhirnya kakiku tanpa sengaja tersandung batu.

Tapi sepertinya ada Malaikat yang tak terlihat yang telah menolongku, hingga aku tidak sampai tersungkur ke tanah.

**†**†**

* SMA PURNA BAKTI *  itu lah yang tepampang di plang atas gerbang sekolahku. 

" Pagi Neng !"   Sapa pria bertubuh jangkung tapi tidak begitu gemuk. 

" Pagi juga Pak Mul !"  

Aku membalas sapaan Pak Mulyadi, beliau adalah satpam di sekolahku yang bertugas membuka dan menutup gerbang sekolah, terkadang Pak Mul juga bertugas menghukum murid-murid yang terlambat datang. 

Pak Mul selalu menyapa murid-murid yang dia temui di pintu gerbang sekolah, bahkan guru-gurupun tak luput dari sapaan nya.

" Pagi Bu !"    Sapanya pada salah satu guru dari kelas lain dan di balas oleh senyuman.

Lapangan yang biasa di pakai tempat untuk berolahraga sudah cukup ramai. Beberapa pasang bola mata tengah menyaksikan kakak kelas yang sedang bermain voly. Aku terus berjalan, melewati sisi lapangan untuk menuju ruang kelasku.

* Duggg..*

" Awww !!"  

Aku meringis kesakitan, lenganku seperti di pukul menggunakan rotan. Ada rasa pedih, pegal efek terkena lemparan bola voly yang cukup keras.

" Maaf yah, kakak gak sengaja ."   Ucap lelaki yang baru saja menghampiriku untuk mengambil bolanya kembali.

" Gak apa-apa kok kak "    jawabku dengan menunjukan senyum manis, meskipun sebenarnya aku ingin secepatnya berlari ke toilet lalu menangis.

Aku melihat beberapa teman perempuan yang satu kelas denganku melihat kejadian yang baru saja menimpaku.

Tapi mereka seolah tak mengenalku. Jangankan menghampiriku untuk bertanya apa aku baik-baik saja, menyapaku saja tidak.

" Awal hari yang buruk, entah apa lagi yang harus ku hadapi hari ini "  gerutuku dalam hati.

Aku menepuk pelan lengan bajuku karena ada noda dari bola yang tiba2 mendarat di lenganku, saat aku setengah melamun saat berjalan.

Meskipun cedera yang aku alami masih terasa begitu sakit, tapi aku harus tetap melanjutkan langkahku melewati beberapa ruang kelas dan harus menaiki anak tangga karena ruang kelasku ada di lantai dua.

" Tuhan, ku mohon bantu aku untuk menghadapi setiap tantangan yang siap menghampiriku hari ini !"   Doa ku dalam hati.

Kini aku berdiri tepat di pintu ruang kelasku. Kaki kanan ku mulai melangkah masuk ke ruang kelas.

Beberapa anak laki-laki terlihat ada yang tengah duduk di meja, ada yang tengah main kejar-kejaran, dan sebagian anak perempuan tengah asik bersenda gurau.

Suasana ruang kelas begitu ramai, tapi terasa sangat sunyi untukku. Seperti hanya ada aku saja yang hanya di temani papan tulis serta bangku yang berjejer tersusun rapi.

Aku berjalan melewati setiap bangku yang sebagian besar sudah ada yang menempati. 

Aku mencoba memberikan senyuman pada beberapa teman perempuanku saat aku melewati bangku mereka. Tapi senyum yang aku berikan hanya dapat balasan tatapan sinis.

" Aku tau mana mungkin mereka mau tersenyum padaku "   umpatku dalam hati.

Aku segera duduk serta meletakkan tas ku dan kujadikan senderan di kursi paling belakang, tepat di barisan meja guru.

Sekilas aku mengingat kejadian tak mengenakan yang pernah terjadi padaku, sampai akhirnya aku harus pindah tempat duduk.

Yang awalnya di barisan kedua tepat di seberang meja guru, sekarang harus duduk di barisan paling belakang. Perasaan sakit dan malu bercampur jadi satu.

Hari itu semua murid sangat serius mendengarkan guru bahasa indonesia yang sedang menjelaskan materi pembelajaran di depan kelas.

" Teks ekposisi adalah teks yang berisi gagasan atau pendapat yang bertujuan supaya orang lain memahami gagasan atau pendapat tersebut ."

" Karena teks eksposisi bersifat gagasan, maka isinya berisi sudut pandang tertentu yang sifatnya subjektif atau mungkin terjadi perbedaan pendapat "   terangnya lagi sembari sesekali menatap wajah murid nya satu persatu.

" Apa masih ada yang kurang paham mengenai penjelasan yang sudah ibu terangkan tadi ?"   Tanya nya pada semua murid.

*Krikkk..krikkk..*

Suasana kelas semakin hening karena tidak ada satu pun suara yang terdengar dari mulut semua murid.

" Oke, Ibu anggap kalian sudah paham semua "  ujarnya lagi.

Sudah menjadi kebiasaan saat guru bertanya apakah ada yang masih belum paham tentang materi yang di berikan, tapi hanya di jawab dengan saling melirik teman sebangku mereka.

" Sebentar lagi ibu ada rapat, nanti kalian catat apa yang salah satu teman kalian tulis di papan tulis ."   Ucapnya.

" Rini, kamu tolong tulis semua materi yang udah ibu rangkum yah !"   Ucapnya yang kini sedang menatap ke arah bangku Rini yang di balas dengan anggukan temanku itu.

" Ya sudah, Ibu ke ruang rapat dulu, kalian jangan ribut !"

" Rini, catatan nya sudah ibu siapkan, nanti kamu ambil di meja ibu "  ucapnya seraya melangkah keluar kelas.

Rini melakukan apa yang di pesankan Bu Sinta, dan mulai mencatat materi yang di berikan di papan berwarna putih.

Semua murid terlihat sedang mempersiapkan alat tulis mereka agar bisa menuangkan semua materi di buku masing-masing.

Aku pun mulai mengikuti apa yang di tulis Rini. Selang beberapa menit, terdengar suara teriakan perempuan di belakangku.

" Aduhh gak keliatan tau gak !"  Teriaknya. 

Mendengar itu aku tetap fokus menulis, toh aku tidak mau tahu alasan Dina berteriak.

" Iyah nih, udah celingak-celinguk sampe berdiri tetep gak keliatan juga ."  Teriak Wida teman sebangkunya.

" Awas dong pohon beringin, aku mau nulis jadi susah nih !"   Teriak Dina lagi yang di sambut dengan seruan kawan-kawan geng centilnya.

Dina, Wida, Devi, dan Tina adalah empat serangkai yang sepertinya sulit untuk dipisahkan.

Kemana-mana mereka selalu berempat. Dina bak ratu bagi Wida, Devi, dan Tina. Dan mereka bertiga mungkin seperti dayang-dayang bagi Dina.

Dikelas ku terdiri dari dua belas murid perempuan dan delapan belas murid laki-laki.

Meskipun ada banyak teman perempuan, tapi di sebelah kursi ku hanya ada tas gendong berwarna biru milikku.

Salah satu teman perempuan yang harus nya bisa duduk di sebelahku,dia enggan untuk mengisi kursi kosong yang berada di sampingku. Dan dia lebih memilih duduk bersebelahan dengan teman laki-laki.

" Woyyy, Pohon beringin awas dong !!!"  Dengan serentak anggota geng itu berteriak, dan di susul dengan seseorang yang memukul pelan pundakku. Dengan segera aku menoleh.

" Dari tadi kita manggil kamu, cape tau udah teriak-teriak "   bentaknya.

Dina dan Wida duduk tepat di belakang kursi ku. Sedangkan Devi dan Tina duduk di belakang mereka.

" Kapan kalian manggil ?"   Ucapku ramah.

" Budeg atau oneng sih, dari tadi kita teriak-teriak ada pohon beringin yang ngalangin tulisan di papan tulis "  bentaknya dengan nada menghina.

" Tapi aku gak duduk sama pohon beringin "   terangku masih dengan nada lembut.

" Itu rambut kamu, bikin kita susah nulis "  hina nya lagi.

" Bisa gak sih duduk nya pindah, noh masih ada bangku kosong "   lirikannya mengarah ke kursi di pojokkan.

Tanpa banyak kata aku pun membereskan alat tulis dan ransel untuk aku pindahkan ke kursi belakang.

Hampir semua murid menatapku, ada beberapa yang seperti setengah menertawakan ku.

Tak ada satu orang pun yang mencoba agar aku tak memasukkan ke dalam hati atas ucapan yang telah mereka lontarkan.

Kejadian itu cukup menggores luka, seperti luka dalam. Tak terlihat, tapi terasa sakit dan hanya aku yang tahu seperti apa rasa sakitnya.

Aku hanya bisa menahan isak tangis. Tapi tak ku perlihatkan raut wajah sedihku pada mereka.

Cukup aku pendam saja apa yang saat ini aku rasakan.

  





Friday, January 14, 2022

Senandung Pilu Putih Abu Abu Part 1





Tubuhku terasa setengah membeku kala tiupan angin menyentuh kulitku. Ingin rasanya aku tarik kain berbulu lembut warna biru muda yang selalu bisa menghangatkan tubuhku. Tapi jam di samping mejaku menginginkan hal lain. 

Belum sempat aku tarik kain bergambar teddy bear yang ada di ujung tempat tidurku, suara dering nyaring pun langsung terdengar sampai ke gendang telingaku.

Yahh, aku tahu, suara dering itu aku anggap seperti seorang ibu yang bertugas untuk membangunkan buah hatinya agar segera beranjak dari tempat tidur. 

Belum sampai satu menit benda itu berbunyi, dengan mata yang masih setengah tertutup, tangan ku bergegas meraba semua benda yang terletak di meja samping tempat tidurku. Tanganku terus mencari benda yang mengeluarkan bunyi yang begitu nyaring. 

* Plukkkk *

Akhirnya tanganku mendarat pada sebuah benda berbentuk persegi panjang, ternyata itu ponselku yang selalu aku letakkan tidak jauh dari benda yang sedang aku cari. 

Karna suara nyaring itu terus berdering tapi benda itu tak kunjung aku dapatkan, akhirnya aku putuskan untuk segera membuka mata selebar mungkin meskipun dua pasang bola mata terus mengajakku untuk mlenjutkan mimpi indah yang sempat mampir ke dalam tidurku.

 Tapi hasutan kedua bola mataku kalah dengan nyaringnya suara benda yang setiap harinya selalu terdengar di telingaku. Segera aku bergegas membuka mata dan bangkit dari tidurku untuk segera menghentikan suara yang begitu nyaring. 

* Ckckkck * aku berdecak kesal.

Setelah terduduk di ranjang, tanganku segera mendarat untuk menekan tombol yang ada di belakang benda yang sedari tadi inginku dapatkan.

**†**†*

 Jarum pendek di angka lima dan jarum panjang menunjuk ke angka dua belas, yaa itu artinya sekarang waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi.

Dan suara nyaring tadi berasal dari alarm jam yang semalam sudah aku pasang, dan itu artinya aku harus bergegas mandi. 

Dengan raut wajah yang terlihat seperti bunga layu, akhirnya aku mulai mendaratkan kakiku ke lantai yang seperti habis di pel memakai air es, terasa begitu dingin saat telapak kaki ini menyentuhnya. 

Dinginnya udara pagi ini membuat aku semakin malas untuk melangkah ke kamar mandi, ditambah lagi harus bersentuhan dengan dingin nya air yang ada di bak mandi.

Tapi sejujurnya kamar mandi lah satu-satunya yang jadi saksi bisu semua permasalahanku.

Dengan Langkah lambat seperti siput aku siap menuju kamar mandi yang hanya beberapa langkah dari kamarku.

Setibanya di depan pintu kamar mandi, aku langsung memutar benda bulat terbuat dari besi yang menempel di papan pintu, terasa begitu dingin di telapak tanganku. 

Udara pagi ini membuat gagang pintu pun ikut menjadi dingin.

* Cekrekkk..*

Setelah pintu terbuka aku bergegas masuk untuk segera membersihkan badanku meskipun aku enggan membiarkan air yang seperti es itu menyentuh kulitku. 

***†**†**

Dengan tubuh yang masih menggigil akibat bermain dengan air selama lima belas menit di kamar mandi, segera ku ambil handuk yang menggantung tak jauh dari pintu.

Tapi itu tidak cukup mengurangi rasa dingin yang kini membuat gigi atas dan bawah seakan saling beradu. 

 Handuk masih melingkar di badanku, dengan sigap aku segera mencari baju yang akan aku kenakan. 

" ini dia, atasan berwarna putih yang selalu membuat ku enggan untuk memakainya "  gumamku dalam hati.

Bagiku mengenakan baju ini serasa sesak. Bukan karena baju itu terlalu kecil untukku, tapi semua kejadian yang aku alami saat ini mulai aku rasakan semenjak aku mulai memakainya.

 " Sudahlah aku siap menerima semua hal yang menimpaku hanya demi masa depanku dan juga perjuangan orang tuaku ."

Aku segera memakai kemeja putih dan tertera sebuah nama " Senandung Rayna ." Iyah itu nama yang di berikan kedua orang tuaku.

Kemeja putih itu kini sudah melekat di badanku. Kini Tinggal rok berwana abu-abu yang siap aku kenakan. Seragam Putih abu-abu ini memang baru beberapa bulan aku kenakan, karna saat ini baru menginjak kelas sepuluh.

 Aku masuk di salah satu sekolah swasta, tapi rasanya seperti masuk sekolah Militer yang begitu banyak tantangan, seperti itu lah yang aku rasakan. 

Pakaian sudah rapi aku kenakan, wajah pun aku poles bedak yang tipis tipis saja, karena aku suka natural agar wajah manisnya tetap terlihat, tapi itu menurut Ayah dan Ibuku sih hihi. 

" Raynaaaaaa, cepat sarapan !!"  Teriak suara wanita yang sudah tidak asing di telingaku. 

" Iya Buuu, sebentar !!"

 Ibuku seperti nya sudah selesai menyiapkan sarapan pagi ini. Dengan sigap aku mengambil tas sekolah yang berada di atas meja belajar. 

**†**†**

Tiga piring nasi goreng dengan telur mata sapi lengkap dengan susu sudah tersaji di atas meja makan, tak ketinggalan juga ada segelas kopi dan juga teh. Meskipun aku sudah besar, tapi aku masih selalu di buatkan susu coklat kesukaanku.

 Aku duduk di kursi meja makan di sebalah kiri kursi yang sudah berpenghuni yang tak lain adalah Ayahku. Seperti biasa rutinitas ayahku membaca koran sambil minum kopi sebelum sarapan.

 " Ibu, sepertinya nasi goreng ini kita habiskan saja berdua, tadi Ayah bilang padaku dia tidak lapar. Baca koran saja sudah kenyang ."

 Sadar aku sedang menggodanya, Ayahku dengan cepat melipat koran dan langsung menyambar piring di hadapannya yang sudah berisi nasi goreng.

 " Satu piring saja kurang, apalagi kalau jatah Ayah kamu habiskan, bisa-bisa Ayah pingsan ."

 Ayah balik menggodaku.

" Mana mungkin Ayah pingsan, cadangan makanan di perut Ayah saja bisa muat satu bulan ."

Ledekku sambil menunjuk kearah perutnya yang sedikit buncit, yang disusul tawa Ayah dan Ibuku.

Hanya di rumah sederhana inilah aku bisa merasakan kehangatan dan keceriaan di setiap harinya.

Terlebih lagi aku sosok gadis yang periang, itu sebabnya suasana di rumahku selalu penuh canda tawa. Sejak kecil aku memang dikenal sebagai anak yang ceria, tapi sekarang tak lagi sama.

 Di mata Ayah dan Ibuku, aku memang gadis yang selalu terlihat ceria, tapi dibalik raut sumringah yang selalu aku tunjukkan, ada beban dan rasa takut yang setiap hari nya aku rasakan.

Tapi semua rasa itu sengaja aku pendam. Bukan tanpa alasan, karna aku tidak ingin membuat orang tuaku merasa cemas setelah mengetahui apa yang telah terjadi kepada putri semata wayangnya.

Semua piring di atas meja sudah bersih tak berisi, kami semua sudah selesai sarapan pagi. Kulihat benda bulat yang menempel di dinding, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 06.10 pagi.

Sejenak aku menghela napas sambil menerka-nerka kejadian apa yang akan aku lalui hari ini. Rasa takut dan sakit kini menyatu, sampai tak terasa air mata sudah bersiap meluncur dari kelopak mataku.

" Habis makan malah bengong ."

Suara Ayah membuyarkan lamunanku. Tapi untung nya Ayah tidak begitu memperhatikan wajahku.

Jadi tak perlu aku sembunyikan air mata yang sudah bersiap hendak jatuh dari kedua bola mataku. Dan Ibu tengah asik membereskan piring-piring di meja makan.

" Engga melamun kok Yah, Nha cuma lagi mikir kira-kira bulan ini naik uang jajan gak yah ?"

Aku menjawab dengan candaan nakal yang biasa aku tunjukkan agar orang tuaku tak menaruh curiga jika anaknya ini menyimpan sejuta kesedihan.

" Dasar kamu ini, gak pernah sekali aja jawab yang bener ."   Tawa kecil Ayah membuat Ibuku terheran.

" Ada apa ini, bergosip tapi berduaa aja ."

Ibu mulai penasaran dengan apa yang sedang kami bicarakan. Belum sempat aku menjawab, Ibu mengingatkan sudah waktunya aku berangkat sekolah.

" Nha, ini udah jam berapa ? Nanti kamu telat loh ."

Benar saja jam sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi. Aku biasa berangkat lebih awal karena harus naik kendaraan umum, karena sekolahku dengan tempat kerja Ayah berbeda arah. 

Karena itu aku jadi tidak bisa meminta Ayah untuk mengantarku dulu ke sekolah. Setelah bergegas memakai sepatu, tak lupa aku berpamitan pada Ayah dan Ibuku.

" Rayna berangkat sekolah dulu yah !" sambil ku cium tangan Ayah dah Ibu secara bergantian.

" Hati-hati nha !"   jawab mereka dengan kompak.

Aku melangkah dan perlahan meninggalkan rumahku. Tak sampai 5 menit, aku tiba di tempat dimana biasa angkutan umum menunggu para penumpangnya.

Aku bergegas menaiki kendaraan itu dan terlihat mulai di penuhi penumpang. Belum dua menit aku duduk, pak supir mulai tancap gas karena bangku-bangku sudah terisi penuh oleh penumpang. 

Dalam perjalanan, aku melanjutkan lamunanku yang tadi sempat buyar. Masih dengan perasaan gelisah hingga rasanya aku ingin bolos sekolah. 


 

 

 

 



Cucu Untuk Mereka Part 3

  Siang itu aku baru saja selesai mengerjakan semua tugas rumah. Sejenak aku putuskan untuk merebahkan diri di sofa karena aku mulai merasa ...