Tulisan kali ini masih berlanjut dari pertanyaan " kapan nikah " , memang tak bisa lepas dari semua teror pertanyaan yang mungkin terasa sepele saat di lontarkan.
Setelah menikah aku bisa terbebas dari pertanyaan " kapan nikah ". Tapi itu tidak berlangsung lama. Terlebih setiap kali bertemu orang, sekarang aku malah merasa seperti artis papan tulis , " ehh salah maksudku artis papan atas ".
Usia pernikahanku baru menginjak tiga bulan. Dan suami pun tidak tergesa-gesa untuk segera memiliki keturunan.
Menurutnya biarkan kita nikmati saja masa-masa awal pernikahan. Aku pun setuju dengan pendapatnya itu. Tapi aku mulai terpengaruh dengan ucapan seseorang yang membuat aku akhirnya mulai berfikir kembali tentang komitmen yang sebelumnya kami pegang.
" Mas aku ke warung dulu yah ! "
Karena tak mendengar jawaban dari suamiku, akhirnya aku kembali ke kamar dan melihat suamiku yang masih tertidur lelap.
" Oh iyah, sekarang hari Minggu, dia pasti bangun agak siangan " gerutuku dalam hati.
Aku bergegas untuk membeli sayuran untuk ku masak hari ini.
" Ehh ini Mirna menantu nya Bu Surti yang tiga bulan lalu nikah yah !" Sapa seorang ibu yang tak sengaja berpapasan denganku di jalan.
" Iyah bu " jawabku seraya melemparkan senyuman manis.
" Ibu mau kemana ?" Tanya ku sambil sedikit memperhatikan penampilan nya yang teramat rapi bak akan menghadiri hajatan.
" Biasa, mau belanja sayuran ke warung Bi Inah " jawabnya sambil setengah menepuk pundakku.
" Kirain pagi-pagi mau ke pesta, cuma beli sayur aja rapi banget, emas pun banyak melekat di tubuhnya. Gimana kalo pergi kondangan, mungkin satu toko plus etalase nya di pake semua.... Astagfirulloh gak boleh nyinyir " gumamku dalam hati.
" Ya udah yuk ngobrol nya kita sambil jalan aja, kamu juga pasti mau belanja kan? "
Aku mengiyakan pertanyaan ibu tadi, dan kebetulan kami akan berbelanja di tempat yang sama.
" Gimana udah isi belum?" Seperti biasa beliau bertanya sambil menepuk pundak. Ibu-ibu mah selalu begitu, untung saja aku tidak tersungkur.
" Alhamdulillah udah isi nasi anget satu piring sama kerupuk di remukin pake kecap dan gak lupa minum nya teh botol sosro ".
Ingin rasanya aku jawab begitu, tapi tak mungkin perkataan seperti itu aku lontarkan, terlebih yang memberi pertanyaannya lebih tua dariku.
" Belum Bu, saya sama suami gak buru-buru kok ".
" Jangan di tunda-tunda, ibu mertua kamu juga pasti udah pengen nimang cucu tuh " kembali tepukan itu mendarat di pundakku.
Jarak dari rumah ke warung biasanya hanya beberepa menit. Sekarang tiba-tiba seperti jalan di tempat.
Sudah bejalan sejak tadi, dan akhirnya baru mendarat di tempat tujuan. Dan terlihat para emak sedang asik memilah sayuran. Dan seorang ibu menatap ke arah kami.
" Wahh kalung Bu Titi baru lagi nih !" Tanya seorang ibu yang tengah memegang seikat bayam.
Para ibu lainnya juga ikut memuji kalung yang Bu Titi pakai.
" Iyah ini hadiah dari suami saya " jawabnya seraya memutar-mutar liontin yang menggantung di leher nya.
" Ehh Mirna, mau belanja yah ?" Tanya salah seorang ibu yang sudah tak asing bagiku karna sesekali bertemu saat di warung.
" Iyah bu " tak lupa ku lemparkan senyum manis andalanku.
" Gimana udah isi belum?"
Ya Tuhann pertanyaan ini lagi. Aku mulai lelah menjawab pertanyaan mereka.
" Belum Bu ".
" Suami nya coba banyakin makan toge, kamu nya minum jamu, ponakan ibu juga yang bulan lalu nikah udah hamil". Timpal salah seorang ibu yang sedikit asing untukku.
Tanpa mereka sadari, aku mulai tersinggung dengan perkataan mereka. Seharusnya tak usah membandingkan dengan keponakan mereka. Lagi pula setiap orang rizki nya berbeda. Ada yang cepat dapat anak dan ada yang sulit.
" Iyah Bu, nanti saya coba " jawabku yang sangat bertolak belakang dengan apa yang aku ucapkan dalam hati.
Aku sudah membeli seikat kangkung dan setengah kilo ayam. Cukup itu saja yang aku beli karena bumbu dan bahan lain masih lengkap di kulkas.
" Saya pamit duluan yah Bu !"
Para ibu mengiyakan dengan serentak.
Saat menuju rumah aku berjalan pontang panting, hingga sebelah sandal ku terlepas dari kaki ku. Sandal yang ku pakai memang sedikit licin karena terkena hujan semalam. Entah harus menangis karena teringat ucapan ibu tadi atau harus menahan tawa karna sandal sebelah kiri terlepas.
Sesampainya di rumah, suami ku terlihat sedang duduk di sofa sambil asik memainkan benda yang sedang di pegangnya.
Sudah jadi kebiasaan semua orang, bangun tidur yang pertama di cari ya ponsel nya. Begitu juga dengan suamiku yang entah sedang melihat apa dengan ponselnya itu. Dan kegiatan nya terhenti setelah melihat aku tiba di depan pintu.
" Kamu kenapa, pulang belanja kok cemberut, kaya yang gak di kasih jajan aja " tanyanya sembari meledek.
" Lahh sekarang malah jadi nangis " dia mulai terlihat kebingungan karena melihat air mata terjun dari kedua bola mataku.
" Mending kita cepet-cepet program, jangan terlalu santai lagi " pintaku yang masih dalam keadaan menangis. Dan dengan nada heran dia kembali bertanya.
" Kenapa tiba-tiba bilang gitu?"
" Lagi-lagi aku di tanya udah isi apa belum, orang tua kamu juga pasti udah pengen gendong cucu " air mataku makin tak bisa terbendung.
" Kenapa sih malah mikirin ucapan orang lain, suami kamu sendiri aja gak banyak nuntut "
Mungkin dia mulai kesal, sampai bicara dengan sedikit nada tinggi. Sejenak aku pun berpikir soal ucapan yang coba dia jelaskan padaku.
" Maaf " jawabku singkat dan kepala tertunduk.
Yang suami ku katakan ada benar nya. Suami sendiri saja tidak menuntuku untuk segera memiliki anak, kenapa aku harus pusing dengan perkataan mereka.
" Tapi aku gak nyaman di cecar pertanyaan itu terus, apalagi mulai di banding-bandingin sama orang lain " keluh ku dengan kepala yang masih tertunduk.
Dan kali ini Mas Rian mulai menjelaskan dengan nada lembut.
" Ujian setiap pasangan itu gak sama, ada yang gampang punya anak, ada yang punya anak tapi seret rezeki, ada yang banyak rezeki tapi harus berjuang buat dapet anak "
" Rizki kita alhamdulillah selalu lancar, mungkin ujian kita ya harus sabar nunggu di kasih keturunan, lagian kita juga sambil ikhtiar " ucapnya seraya menyeka air mataku yang masih mengalir.
" Coba kamu liat acara tv di sebelah, cerita para istri yang di selingkuhin lagi hamil. Itu termasuk contoh ujian rumah tangga " timpalnya lagi dengan raut wajah yang cukup serius.
Perlahan aku menatap suamiku yang tengah menceramahiku. Dan berkata...
" Kamu suka nonton sinetron gituan ?" Tanya ku penasaran karena aku tidak pernah melihat suamiku menyaksiakan acara tentang konflik rumah tangga.
" Enak aja, gak pernah lahh "...
" Tapi waktu itu sebelum kita nikah, Mas pernah liat mamah lagi asik nonton itu, jadi secara gak langsung mas ikut nonton sihh hehehe " tingkah konyolnya membuat tangisanku berubah jadi tawa tebahak-bahak.
********
" Happy anniversary sayang " kecupan hangat mendarat di keningku.
Tak terasa hari ini sudah menginjak satu tahun pernikahan kami. Seketika aku mengenang hari dimana aku dan Mas Rian duduk tepat di hadapan Pak Penghulu. Di saksikan kedua belah pihak dan puluhan pasang bola mata.
Kami bersatu setelah mendengar para saksi mengucap kata sah. Satu kata yang selalu di nantikan setiap kaum hawa. Penantian selama enam tahun akhirnya selesai sudah.
" Semoga hubungan kita segera di lengkapi bayi mungil ya mas " ucapku lirih.
" Aamiin, udah yah jangan nangis, biar gak sedih lagi, nanti malem kita dinner " tangan hangatnya mengusap pipiku yang di banjiri air mata.
" Oh iyah, kamu pasti lupa. Minggu lalu mamah nyuruh kita kerumahnya kan. Kita botram selagi aku libur "
Jarak rumah ibu mertua ku tak jauh dari tempat tinggalku. Tapi rasanya aku enggan untuk ikut acara makan bersama itu.
" Pasti sama ibu-ibu depan rumah mamah yah " tanyaku dengan nada sedikit malas.
" Pasti lahh, kamu kan tau sendiri sebulan sekali pasti botram sama tetangga yang lain " .
" Kenapa malah bengong ?" Mas Rian membuyarkan lamunanku.
Aku dalam keadaan dilema. Jika aku tidak ikut bergabung, nanti dikira tak bisa menghormati mertua. Tapi jika aku ikut, apa aku bisa terus tegar.
" Mas tau apa yang ada di pikiran kamu, " timpalnya karena aku masih diam membisu.
" Kamu tenang aja, mas pasti jadi perisai nya kamu kok " kali ini dia membujukku dengan cara merayu.
Aku hanya menyimpulkan senyum, karena sedang tidak ingin mengatakan satu patah kata pun.
" Yukk otw ! nanti kalau telat malah keburu mateng semua lauk nya ". Tangan nya meraih jari jemari ku.
Sejak beberapa bulan terakhir, satu bulan sekali halaman rumah mertuaku selalu ramai. Beberapa tetangga mengadakan acara makan bersama. Para wanita memasak dan para lelaki hanya berbincang sambil menunggu semua masakan siap di sajikan.
Hanya beberapa menit dari rumahku. Akhirnya kami sampai di lokasi tujuan. Belum begitu ramai, tapi sudah ada beberapa orang yang datang.
" Nahh dua sejoli udah datang !" Seru pria yang tengah berbincang dengan bapak-bapak lainnya. Kami pun di sambut hangat.
Bapak- bapak memang berbeda jauh dari para emak. Mereka tidak pernah ingin tahu tentang kehidupan orang lain. Topik yang di bahas pun paling seputar bola, kerja bakti, mancing. Pembahasan yang tidak ada unsur ghibah.
Tapi para emak, topik yang di bahas sungguh menguras emoji. Ehmm maksud nya menguras emosi.
" Ehh Bu, ternyata anaknya Bu. A udah hamil sebelum nikah !"
" Anak nya Bu. B keluyuran terus pulang di anter lelaki ".
" Anak Bu. C gak pernah ke mana-mana, gimana mau dapet jodoh ".
Itulah sekilas pembahasan para emak. Un faedah bukan? Bisakah topik ghibah para emak di luar sana di ganti. Pembicaraan yang berfaedah, minimal untuk diri sendiri tanpa ada rasa menyakiti.
" Eh Bu, tau gak? Kemaren sandal jepit saya putus, terus berkat ada tukang bangunan, akhirnya sandal saya berfungsi lagi. Tukang nya baik banget ngasih saya paku buat nambal penjepit nya.
" Tau gak Bu? Lipstick saya habis, terus saya korek-korek pakai jari kelingking, akhirnya saya bisa pergi kondangan ".
Sudahlah, setiap hal buruk memang sulit untuk di hilangkan.
" Kamu ke dapur aja langsung, aku disini ngobrol sama bapak-bapak " pintanya seraya mengusap kepalaku.
Saat memasuki dapur, terlihat ibu mertuaku sedang memilah toge. Dan dua orang lainnya sedang menyiapkan wadah yang akan di pakai.
" Belum pada dateng semua mah " tanyaku yang tanpa sengaja mengejutkan ibu mertua ku.
" ehh iyah belum, ini mamah sengaja tadi beli toge buat kamu. Biar nanti nya subur ".
Beliau menjawab dengan nada yang ramah, tapi entah kenapa hatiku rasanya sakit.
" Iyah mah makasih, aku ke toilet dulu yah mau cuci kaki ".
Aku berbohong pada mertuaku. Aku berlari ke toilet bukan untuk mencuci kaki ku yang tidak kotor sedikit pun. Tapi aku tak tahan ingin meluapkan sesuatu yang membuat dada ku sesak.
Aku menangis pelan, aku malu. Ada orang lain di sana, tapi tanpa sadar mertuaku sudah membuat ku tersinggung.
Dalam hati, aku mencoba menghibur diri sendiri.
" Inget kata Mas Rian, anak juga termasuk rizki dari Tuhan. Kalo udah rizkinya pasti bakalan aku dapetin " gumamku seraya mengusap perut dan membayangkan ada jabang bayi dalam perutku.
Aku menyeka jejak air mataku dan membasuh kedua kaki agar mertua ku tidak curiga.
" Toge nya mamah taro di wadah plastik, nanti di makan mentah lebih bagus " perintahnya saat melihatku keluar dari toilet.
" Harusnya di awal-awal nikah rutin makan toge, atau jamu penyubur " ucap salah seorang tatangga yang sedang mengiris cabai.
Mendengar itu aku dan mertuaku hanya membalas dengan senyuman, dan entah apa yang sedang di pikirkan mertuaku setelah mendengar saran yang di lontarkan ibu tadi.
" Saya juga jaman muda dulu rutin minum jamu, katanya biar makin subur, tiga minggu nikah langsung hamil " ucap wanita yang sedang mencuci beras, rupa nya dia pun ikut menyimak pembicaraan kami.
Setiap bulan aku harus berhadapan dengan situasi seperti ini. Aku mau datang ke sini atas bujukan Mas Rian yang akan menjadi perisai ku. Tapi dia tidak bisa melindungi ku agar terhindar dari topik soal anak lagi. Aku pun tidak enak jika mengganggu dia yang sedang berkumpul dengan bapak-bapak.
Saat ini aku benar-benar lelah. Tak ada satu pun diantara mereka yang tau apa yang sudah aku lakukan agar bisa memberikan cucu pada mertu dan keluargaku. Dan masalah apa yang aku hadapi hanya aku dan Mas Rian yang tahu.
Mungkin setiap orang selalu berfikir, kalau aku tidak mau berusaha ikhtiar lewat medis atau produk yang sudah mereka sarankan, hingga mereka terus saja memberikan saran, yang tanpa mereka sadari sudah membuat seseorang seperti di timpa beban yang begitu berat 😥
Apa yang mereka ucapkan, mengingatkan ku pada ucapan dokter kala itu. Diagnosa yang membuatku cukup terpuruk.
Lelah?? " Iyah "
Apa mereka tau ? " Tidak "
Aku dan Mas Rian memang sudah sepakat untuk tidak menceritakan apa saja yang sudah kami lewati, sekalipun itu orang tua ku sendiri. Karena bagi kami, masalah rumah tangga tak perlu di ungkapkan pada semua orang. Seandainya semua masalah kami bagi, belum tentu mereka akan mengerti.
*Bersambung*