Thursday, February 10, 2022

Cucu Untuk Mereka Part 3

 



Siang itu aku baru saja selesai mengerjakan semua tugas rumah. Sejenak aku putuskan untuk merebahkan diri di sofa karena aku mulai merasa sedikit lelah. Kupejamkan mata, tapi tiba-tiba terlintas kejadian kemarin di rumah mertuaku.

Tanpa di sadari air mata mulai menetes. 

" Tuhan, apa mereka tidak bisa berhenti mempertanyakan soal kehamilan ? Berulang kali selalu memberikan saran yang sama, apa mereka pikir selama ini aku diem aja ".  Aku mulai mengeluh dalam hati.

Mereka tidak tahu seberapa keras aku telah berusaha. Dari tiga bulan yang lalu semua cara banyak yang sudah aku coba.

Aku teringat kembali peristiwa tiga bulan yang lalu. Entah bisikan dari mana tiba-tiba ada hal yang ingin aku cari tahu. 

Aku bergegas mengambil sebuah benda yang selalu aku simpan di atas meja rias di kamarku.

Dengan cepat aku mendaratkan jari jempol ku pada papan ketik dan mulai merangkai sebuah kalimat.

* Herbal alami agar cepat hamil *

Kalimat itu lah yang tertera dalam layar ponselku. Hanya satu klik, muncul banyak artikel. Pada saat itu aku membaca artikel yang sekiranya ada bahan herbal yang mudah di cari. Akhirnya aku menemukan yang menurutku tidak sulit aku dapatkan.

Asparagus 


Asparagus adalah salah satu jenis tanaman herbal yang mengandung banyak nutrisi. Herbal
ini tidak hanya rendah kalori dan membuat Bunda kenyang, namun juga memberi nutrisi
penting untuk kehamilan.

Di dalam asparagus, terdapat kandungan vitamin K, vitamin A, vitamin B, hingga vitamin C. Mengonsumsi ramuan alami agar cepat hamil ini disebut bisa memperbesar peluang supaya cepat hamil.

Aku membaca seluruh artikel dengan cermat. Dan dengan penuh keyakinan aku ingin mencoba apa yang di sarankan dalam tulisan itu.

" Mas, pulang kerja mampir ke supermarket bisa gak ?"

Aku menunggu pesan balasan dari suamiku.

*Trinkkkk...*    

Ponsel ku berbunyi. Dan benar saja itu pesan balasan dari Mas Rian.

" Iyah bisa, emang kamu mau beli apa ?" 

" Aku liat di internet kalo asparagus bisa bikin cepet hamil "   balasku.

Aku cukup lama menunggu balasan pesan berikutnya. Mungkin dia tengah sibuk bekerja. Entah kenapa perasaanku jadi gelisah, padahal aku hanya sedang menunggu pesan dari suamiku, bukan balasan cinta dari orang yang pernah singgah di hati lalu pergi.

Kurang lebih dua puluh menit ponselku kembali berdering. Pesan dari nya cukup membuatku tercengang.

" Mas kan udah bilang sama kamu, anak itu termasuk rizki,kalo udah rizkinya pasti gak akan kemana ".

Mungkin aku ini memang perempuan yang cengeng. Hanya membaca itu saja, cukup memancing air mataku. Tapi aku mencoba berusaha memberi penjelasan pada suamiku. Jari ku kembali dengan lihai mengetik.

" Aku tau itu mas, tapi gak ada salahnya kita perkuat ikhtiarnya ".

" Uang juga termasuk rizki, kita gak dapetin uang nya gitu aja kan? Harus berusaha kerja dulu baru bisa dapetin uang nya ".

Kali ini tidak perlu menunggu lama balasan dari Mas Rian.

" Ya udah nanti mas beliin, tapi kamu harus janji, seandainya cara ini gak berhasil, kamu gak boleh ngeluh ".  

Aku mengiyakan balasan pesan nya sekaligus mengakhiri percakapan kami.

***

Sore ini jarum jam seperti berhenti memutar. Mendadak terasa begitu lama saat menunggu suamiku pulang.  Aku pun sudah selesai mandi dari tadi, dan berdandan rapi. Rasanya sudah tidak sabar untuk menyambut nya pulang.

Tak lama terdengar suara motor yang sudah tak asing di telingaku. Dengan sigap aku pun berlari keluar menuju halaman. Pintu pagar sudah terbuka saat motor suamiku belum sampai di depan halaman.

" Tau aja kalo suami nya udah pulang, sampe pintu udah di buka padahal motor mas belum keliatan "   godanya sambil memberikan senyuman yang terlihat begitu manis.

" Tau lahh, aku udah hafal suara motor nya, bahkan aku bisa bedain yang mana suara kentut kamu "   aku pun tak kalah balik menggodanya.

" Dasar kamu ini, semua nada kentut itu sama "   ucapnya sembari memarkirkan motor di halaman.

" Tunggu mas !"   Perintahku. Dan dia berhenti sejenak.

" Ada apa, mas mau cepet-cepet ke air nih ?" 

" Emang kentut ada nada nya ?"  Tanyaku dengan ekpresi sok polos.

" Auah "  jawabnya singkat dan berlalu meninggalkan ku yang masih melongo sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

" Aku nanya bener malah di jawab auah " umpatku kesal.

Aku melihat kresek hitam yang masih menggantung di motor, dan aku menduga itu pasti asparagus pesananku. Dan ternyata benar. Dengan girang aku berlari ke dalam rumah. Saat hendak mendekati kamar mandi aku pun mulai berteriak memanggil suamiku untuk mengucapkan terimakasih.

" Maassss.... !!!"   Teriaku yang suaranya terdengar sampai kamar mandi.

" Iyah apa, mas masih mandi "   sahutnya.

" Makasih aspal agus nya !"  karena saking senang nya, tanpa sengaja aku salah menyebutkan nama tanaman ini.

" Iyah sama-sama "  teriak nya dari dalam bilik mandi.

Dia mengiyakan begitu saja tanpa membenarkan ucapanku. Entah karena suara air keran yang cukup deras jadi ucapanku tidak terdengar begitu jelas atau mungkin dia lupa nama tumbuhan ini. 

" Ahhh sudahlah, lebih baik aku segera mengolah asparagus nya".

Dengan senyum sumringah aku pun menuju dapur untuk mulai mengeksekusi asparagus yang sejak tadi sudah aku nantikan.

Menurut artikel, lebih baik di makan mentah. Ini kali pertamanya aku makan asparagus mentah. Tapi demi segera mendengar suara bayi di rumah ini, aku rela melakukan apa saja.

Pertama-tama aku mulai membersihkan asparagus nya, lalu di tiriskan. Sesimple itu memang.

" Mau di masak sekarang ?"   Suara Mas Rian membuat aku kaget. Rupanya dia  baru selesai mandi, bahkan badan nya masih di balut handuk.

" Gak aku masak, mau makan mentah aja "      jawabku yang masih sibuk meniriskan asparagus.

" Kayak yang doyan aja di makan mentah "   ledek nya sembari nyelonong menuju kamar.

Sebenarnya aku belum pernah makan asparagus, apalagi mentah begini. Tapi semoga rasanya cocok dengan lidahku.

Aku membawa beberapa batang asparagus untuk aku cemil di meja makan. Sedikit ragu untuk memasukkan tumbuhan ini ke dalam mulutku. Aku mencoba mencicip satu gigitan saja.

Lidahku mulai mengenali rasa tumbuhan ini. Rasanya hampir mirip dengan brokoli dan tekstur yang renyah. Entah sudah berapa batang yang aku makan. Hingga lidah ku mulai bisa menerima rasanya.

" Doyan ?"  Tanya Mas Rian yang baru saja terduduk di kursi meja makan.

" Lumayan "   jawabku singkat.

" Kita makan sekarang aja yah mas, kamu juga pasti udah laper "   ajak ku yang sebenarnya sudah sedikit kenyang.

" Wihhh kari ayam "   ekpresi bahagia nya mulai dia perlihatkan setelah membuka tudung saji.

Aku sengaja membuat masakan kesukaan suamiku. Dan selama ini dia tidak pernah mengeluh untuk segala masakan yang aku buat untuk nya.

Begitulah dia, lelaki yang tak pernah banyak mengeluh dan menuntut sesuatu dari istrinya. Mendapat  Suami yang penyabar dan penyayang, yang selalu di dambakan kaum hawa, kini aku sudah mendapatkan nya. Hanya ada satu yang belum ku miliki, bayi mungil yang selalu ku nanti.

*******

" Mas pulang nya jangan lupa beli asparagus lagi yah, di kulkas udah abis "   itulah isi pesan yang ku kirim pada Mas Rian.

" Siappp nci !"   Balasnya dengan durasi yang sangat singkat, mungkin dia mengetik dengan kecepatan 100km/jam.

" Siapa nci ?"   Balasku dengan wajah mulai cemberut , padahal suamiku tidak akan bisa melihat ekspresiku saat ini.

Kali ini mendadak pesan balasan nya cukup lama hingga aku mulai gelisah. Karena aku takut pesan itu bukan dia kirim untukku.

* Trinkkkk... *

Entah harus senang atau kesal melihat balasan yang dia kirim.

" Ya kamu lah, tiap ngemil asparagus mirip banget kelinci, mana waktu kamu ngunyah  bunyi nya kraukk.. kraukkk... " 

Aku senang karena rupa nya pesan tadi memang untukku, tapi kesal di buatnya gara-gara aku di samakan dengan hewan yang berkuping panjang dan berbulu lembut itu.

" Bodo amat, yang penting lucu !"  Balasku menutup percakapan kami lewat pesan singkat.

Sudah dua minggu ini aku memang rutin memakan asparagus mentah-mentah. Yang terpenting aku sudah berusaha, biarkan Tuhan yang menentukan hasil akhirnya.





Cucu Untuk Mereka Part 2


" Happy anniversary sayang " kecupan hangat mendarat di keningku.

Tak terasa hari ini sudah menginjak satu tahun pernikahan kami. Seketika aku mengenang hari dimana aku dan Mas Rian duduk tepat di hadapan Pak Penghulu. Di saksikan kedua belah pihak dan puluhan pasang bola mata. 

Kami bersatu setelah mendengar para saksi mengucap kata sah. Satu kata yang selalu di nantikan setiap kaum hawa. Penantian selama enam tahun akhirnya selesai sudah.

" Semoga hubungan kita segera di lengkapi bayi mungil ya mas " ucapku lirih.

" Aamiin, udah yah jangan nangis, biar gak sedih lagi, nanti malem kita dinner " tangan hangatnya mengusap pipiku yang di banjiri air mata.

" Oh iyah, kamu pasti lupa. Minggu lalu mamah nyuruh kita kerumahnya kan. Kita botram selagi aku libur " 

Jarak rumah ibu mertua ku tak jauh dari tempat tinggalku. Tapi rasanya aku enggan untuk ikut acara makan bersama itu. 

" Pasti sama ibu-ibu depan rumah mamah yah " tanyaku dengan nada sedikit malas.

" Pasti lahh, kamu kan tau sendiri sebulan sekali pasti botram sama tetangga yang lain " .

" Kenapa malah bengong ?" Mas Rian membuyarkan lamunanku.

Aku dalam keadaan dilema. Jika aku tidak ikut bergabung, nanti dikira tak bisa menghormati mertua. Tapi jika aku ikut, apa aku bisa terus tegar.

" Mas tau apa yang ada di pikiran kamu, " timpalnya karena aku masih diam membisu.

" Kamu tenang aja, mas pasti jadi perisai nya kamu kok " kali ini dia membujukku dengan cara merayu.

Aku hanya menyimpulkan senyum, karena sedang tidak ingin mengatakan satu patah kata pun. 

" Yukk otw ! nanti kalau telat malah keburu mateng semua lauk nya ". Tangan nya meraih jari jemari ku.

Sejak beberapa bulan terakhir, satu bulan sekali halaman rumah mertuaku selalu ramai. Beberapa tetangga mengadakan acara makan bersama. Para wanita memasak dan para lelaki hanya berbincang sambil menunggu semua masakan siap di sajikan.

Hanya beberapa menit dari rumahku. Akhirnya kami sampai di lokasi tujuan. Belum begitu ramai, tapi sudah ada beberapa orang yang datang.

" Nahh dua sejoli udah datang !" Seru pria yang tengah berbincang dengan bapak-bapak lainnya. Kami pun di sambut hangat.

Bapak- bapak memang berbeda jauh dari para emak. Mereka tidak pernah ingin tahu tentang kehidupan orang lain. Topik yang di bahas pun paling seputar bola, kerja bakti, mancing. Pembahasan yang tidak ada unsur ghibah.

Tapi para emak, topik yang di bahas sungguh menguras emoji. Ehmm maksud nya menguras emosi.

" Ehh Bu, ternyata anaknya Bu. A udah hamil sebelum nikah !"
" Anak nya Bu. B keluyuran terus pulang di anter lelaki ".
" Anak Bu. C gak pernah ke mana-mana, gimana mau dapet jodoh ".

Itulah sekilas pembahasan para emak. Un faedah bukan? Bisakah topik ghibah para emak di luar sana di ganti. Pembicaraan yang berfaedah, minimal untuk diri sendiri tanpa ada rasa menyakiti.

" Eh Bu, tau gak? Kemaren sandal jepit saya putus, terus berkat ada tukang bangunan, akhirnya sandal saya berfungsi lagi. Tukang nya baik banget ngasih saya paku buat nambal penjepit nya.

" Tau gak Bu? Lipstick saya habis, terus saya korek-korek pakai jari kelingking, akhirnya saya bisa pergi kondangan ".

Sudahlah, setiap hal buruk memang sulit untuk di hilangkan.

" Kamu ke dapur aja langsung, aku disini ngobrol sama bapak-bapak " pintanya seraya mengusap kepalaku.

Saat memasuki dapur, terlihat ibu mertuaku sedang memilah toge. Dan dua orang lainnya sedang menyiapkan wadah yang akan di pakai.

" Belum pada dateng semua mah " tanyaku yang tanpa sengaja mengejutkan ibu mertua ku.

" ehh iyah belum, ini mamah sengaja tadi beli toge buat kamu. Biar nanti nya subur ".
Beliau menjawab dengan nada yang ramah, tapi entah kenapa hatiku rasanya sakit. 

" Iyah mah makasih, aku ke toilet dulu yah mau cuci kaki ". 

Aku berbohong pada mertuaku. Aku berlari ke toilet bukan untuk mencuci kaki ku yang tidak kotor sedikit pun. Tapi aku tak tahan ingin meluapkan sesuatu yang membuat dada ku sesak. 

Aku menangis pelan, aku malu. Ada orang lain di sana, tapi tanpa sadar mertuaku sudah membuat ku tersinggung.

Dalam hati, aku mencoba menghibur diri sendiri.

" Inget kata Mas Rian, anak juga termasuk rizki dari Tuhan. Kalo udah rizkinya pasti bakalan aku dapetin " gumamku seraya mengusap perut dan membayangkan ada jabang bayi dalam perutku.

Aku menyeka jejak air mataku dan membasuh kedua kaki agar mertua ku tidak curiga. 

" Toge nya mamah taro di wadah plastik, nanti di makan mentah lebih bagus " perintahnya saat melihatku keluar dari toilet.

" Harusnya di awal-awal nikah rutin makan toge, atau jamu penyubur " ucap salah seorang tatangga yang sedang mengiris cabai.

Mendengar itu aku dan mertuaku hanya membalas dengan senyuman, dan entah apa yang sedang di pikirkan mertuaku setelah mendengar saran yang di lontarkan ibu tadi.

" Saya juga jaman muda dulu rutin minum jamu, katanya biar makin subur, tiga minggu nikah langsung hamil " ucap wanita yang sedang mencuci beras, rupa nya dia pun ikut menyimak pembicaraan kami.

Setiap bulan aku harus berhadapan dengan situasi seperti ini. Aku mau datang ke sini atas bujukan Mas Rian yang akan menjadi perisai ku. 

Tapi dia tidak bisa melindungi ku agar terhindar dari topik soal anak lagi. Aku pun tidak enak jika mengganggu dia yang sedang berkumpul dengan bapak-bapak.

Saat ini aku benar-benar lelah. Tak ada satu pun diantara mereka yang tau apa yang sudah aku lakukan agar bisa memberikan cucu pada mertu dan keluargaku. Dan masalah apa yang aku hadapi hanya aku dan Mas Rian yang tahu.

Mungkin setiap orang selalu berfikir, kalau aku tidak mau berusaha ikhtiar lewat medis atau produk yang sudah mereka sarankan, hingga mereka terus saja memberikan saran, yang tanpa mereka sadari sudah membuat seseorang seperti di timpa beban yang begitu berat 😥

Apa yang mereka ucapkan, mengingatkan ku pada ucapan dokter kala itu. Diagnosa yang membuatku cukup terpuruk. 

Lelah?? " Iyah "

Apa mereka tau ? " Tidak "

Aku dan Mas Rian memang sudah sepakat untuk tidak menceritakan apa saja yang sudah kami lewati, sekalipun itu orang tua ku sendiri. Karena bagi kami, masalah rumah tangga tak perlu di ungkapkan pada semua orang. Seandainya semua masalah kami bagi, belum tentu mereka akan mengerti. 



Monday, February 7, 2022

Perjuanganku Dan Kamu Bertemu Pak Penghulu Part 4

 




Aku takut salah satu hati kita tidak memiliki pendirian yang kuat untuk menjalani hubungan tanpa saling bertemu. Dan akhirnya lebih memilih cinta yang baru.

" Bakalan lama gak ?" Tanyaku lirih.

Giliran dia yang membisu setelah mendengar pertanyaanku. Aku menatap wajah nya yang entah sedang memikiran apa. 

Tubuhku terasa lunglai, aku takut saat mendengar keputusan terakhir yang akan keluar dari mulutnya.

" Aku juga belum tau lama atau engga " ucapnya lirih.

Jawaban itu membuatku semakin tak kuasa untuk membendung air mataku. Tapi dia mencoba menenangkan ku.

" Aku kerja jauh pun buat masa depan kita juga " ucapnya sambil mengusap air mata ku.

Bukan tidak bisa jauh darinya, aku pun takut di luaran sana dia bertemu dengan wanita yang lebih segala-galanya dariku.

Jika dia pergi di saat aku tidak ada rasa untuknya, aku tidak apa-apa. Tapi sekarang dia harus pergi jauh di saat Tuhan sudah menyadarkan ku jika aku tidak sanggup jauh darinya.

Awal kita bertemu memang tidak ada rasa sedikit pun untuknya. Setelah satu minggu dia tanpa kabar, baru lah aku mulai merasa kehilangan.

Inikah makna dari lirik lagu astrid yang berjudul tentang rasa?  " Tentang cinta yang datang perlahan, membuatku takut kehilangan ".

Kini aku mengalami hal itu. Awalnya tak ada rasa untuknya. Tapi lambat laun perasaan itu muncul secara perlahan. Dan saat ini aku benar-benar merasa takut kehilangan.

Beda hal nya dengan cinta masa lalu yang pernah mampir dalam hidupku. Aku sudah mulai jatuh cinta pada lelaki yang baru pertama ku temui. 

Tapi semakin lama aku mengenalnya, perasaan cinta itu memudar secara perlahan. Mungkin itu karena aku menyukai kelebihan yang dia tunjukkan di awal hubungan. Saat kekurangan dia mulai terlihat, aku mulai tidak bisa menerimanya.

Dan perasaan cinta untuk lelaki yang saat ini sedang bersamaku, terjadi hal yang sebaliknya. Mungkin itu terjadi karena pada awalnya aku hanya melihat kekurangan dia. 

Tapi karena rasa cinta yang tumbuh semakin besar, akhirnya aku mulai mencintai segala kekurangan yang ada pada dirinya. Dan segala kekurangan itu berubah menjadi kelebihan di mataku.  

Dari masa lalu aku belajar, jika ingin mencintai dengan tulus, cintailah dulu segala kekurangan yang pasangan kita miliki. Setelah itu pasti kelebihan dia pun pasti akan kita temukan dalam dirinya.

Dan menurut ku cinta yang tulus itu bukan dari mata turun ke hati, tapi dari hati naik ke mata. Jika hati sudah bisa menerima, maka dia akan terlihat sempurna di mata kita. Tapi jika mata yg melihat, maka hati belum tentu bisa menerima. 


Seperti nya ini salah satu takdir Tuhan yang harus ku jalani. Harus berpisah di saat rasa itu semakin tumbuh. 

" Sebelum pulang kita makan Yuk !!! "   Rupanya dia mencoba menghiburku agar tak larut dalam kesedihan.

Jangankan menerima ajakan nya, untuk tersenyum saja berat rasanya. Tapi aku pun tidak mau dia turut sedih karena melihatku selalu murung. Akhirnya aku menerima ajakan dia membeli sesuatu untuk mengisi perut kita berdua yang tanpa aku sadari cacing di perutku sudah berontak karena belum makan siang.
 
Di tempat makan dia tidak menyerah untuk selalu membuatku tersenyum. Banyak hal konyol yang tidak segan dia tunjukkan.

Siang itu di tempat makan yang view nya cukup menyejukkan pandangan ku karena banyak pepohonan rindang yang di hiasi pernak pernik, tiba-tiba muncul dua ekor semut besar di atas meja yang masih kosong karena pesanan kita berdua belum datang. 

Aku pikir kedua semut itu pasti akan dia singkirkan. Tapi dugaanku meleset. Lagi-lagi dia melakukan hal konyol.

" Kamu pilih semut yang mana ? Aku yang ini " 

 telunjuknya mengarah ke salah satu semut yang menurutku tidak ada bedanya. Ukuran nya sama, bentuk nya pun sama. Tidak ada perbedaan sedikitpun, tidak seperti Upin dan Ipin yang salah satu nya memiliki perbedaan pada rambut meskipun amat sedikit.

Aku mengerutkan kening karena tidak mengerti apa yang akan dia lakukan. Lagi pula aku tidak perlu menjawab yang mana semut yang akan aku pilih, toh hanya tinggal satu semut yang tersisa.

" Kamu mau apain semut ini ?"

Dia terlihat sangat antusias saat aku bertanya. Setelah itu dia mengatur posisi kedua semut tadi jadi saling berhadapan.

" Kita adu semut nya. Semut yang mati duluan berarti kalah ". 

Segara dia mulai pertandingan kedua semut tadi. Terlihat semut yang dia pilih mendekati lawan nya. Kedua serangga itu terus saling beradu. 

Tanpa ada wasit pertandingan itu terlihat semakin seru. Mungkin itu menurutnya. Karena terlihat dia heboh sendiri melihat kedua serangga itu terus saling beradu.  Aku hanya tersenyum melihat tingkah konyol nya.

Tapi tidak terlihat tanda-tanda semut yang akan kalah. Malah terlihat serangga itu mulai menjauh dan pergi begitu saja.

Sejenak kami saling bertatapan dengan ekpresi konyol karena melihat serangga itu berlalu sebelum pertandingan selelai.

" Mungkin serangga nya udah bermusyawarah buat gak berantem, jadi lebih milih baikan aja "

Ucapan dia sontak membuat ku tak bisa menahan tawa. Mungkin benar, semut itu sudah lelah berkelahi. Dan mereka sadar jika perkelahian itu tidaklah baik.

Serangga tadi telah mencairkan suasana, dan bisa membuat aku sejenak bisa tertawa kembali.

Waiters yang menghampiri meja kami, mengakhiri tawa yang sedang kami nikmati. Candaan tadi membuat ku semakin lapar dan makanan yang kami pesan tiba di saat yang tepat.

Ayam bakar dan sambal lalap yang biasanya selalu menggugah selera. Kini terasa tak nikmat saat ku santap kala aku teringat kembali bahwa lelaki yang ada di hadapanku akan pergi jauh.

" Kenapa kamu nangis lagi ?"  Tanya nya yang langsung membuat mulut yang tadi tengah menikmati makanan kini jadi terhenti.

" Kalo kamu sedih terus, aku gak akan tenang ngejalanin hidup di kota orang ".  Ucap nya sebelum aku menjawab pertanyaan yang dia lontarkan tadi.

Aku tidak yakin bisa menjalani hari-hari tanpa bertemu dia dalam waktu yang lama. Itu pun tidak pasti berapa lama nya dia merantau di kota orang.

Terlalu banyak kenangan bersama nya. Hanya dia kekasih dan teman yang aku miliki. 

"Jika dia pergi, apa akan ada kebahagiaan yang siap menanti? Tapi bagaimana jika dia kembali tapi hati nya bukan untukku lagi ?"


*Bersambung*















Thursday, January 20, 2022

Perjuanganku Dan Kamu Bertemu Pak Penghulu Part 3

 






Mataku terbelalak melihat isi pesan yang dia kirim. Aku hanya berniat memberitahu kalau aku sedang kurang sehat, tapi respon dia sungguh diluar dugaan.

Tapi aku menolak ajakannya. Sebab aku tidak ingin merepotkan nya, aku pun kasihan padanya karena pasti dirinya akan kelelahan. 

Memang sih ada klinik yang tidak begitu jauh dari rumahku. Dan tempat dia bekerja pun hanya kurang lebih tiga puluh menit menuju rumahku. Tapi jarak rumahku dengan tempat tinggalnya cukup jauh. Pasti sampai larut malam untuk tiba dirumahnya.

Mendengar penolakanku, dia tetap bersikeras membawa ku ke dokter. Saat aku menolaknya lagi, akhirnya dia marah dan tidak membalas setiap pesan yang aku kirimkan padanya.

Sekitar pukul delapan lewat aku mendenger suara motor berhenti tepat di halaman rumahku. Tak lama kudengar ibuku memanggilku dan memberitahu kalau ada seseorang yang datang untuk menemuiku.

Saat aku turun kebawah, ku lihat lelaki yang masih berseragam kantor tengah meminta ijin ibuku untuk membawaku pergi ke dokter. Rupanya dia serius dengan ajakan tadi siang, padahal aku sudah menolak. 

Setelah kejadian itu aku menilai bahwa dia tidak memberi perhatian hanya sekedar dari mulut saja.

Setelah hampir dua tahun menjalani hubungan, perhatian yang dia berikan tidak pernah berubah. Tapi setelah hal yang selama ini dia tutupi terkuak olehku, aku rasa dia sudah berubah.

Sontak aku terkejut setelah aku melihat isi akun sosial medianya. Selama hampir dua tahun, baru kali ini dia memberikan email dan kata sandi sosmed nya itu, meskipun tanpa kuminta.

Mataku masih tidak bisa percaya meskipun setelah melihat semua inbox di sosmednya. Dan tanpa kusadari, pipiku sudah mulai di basahi air yang terus mengalir dari kelopak mataku.

Banyak sekali inbox dia untuk perempuan-perempuan yang tidak satupun aku kenal. Sampai ada pesan meminta nomor ponsel segala. 

Saat hubungan kami hampir satu tahun, rupanya dia pernah berkhianat, itu yang aku tau setelah melihat tanggal pesan yang dia kirim. Bukan satu atau dua orang, tapi banyak perempuan yang coba dia dekati.

"Kalau dia pura-pura sayang, kenapa perhatian yang dia beri terlihat benar-benar tulus ?"

Teka-teki itu rasanya sulit kupecahkan, karena jawaban yang tepat hanya dia yang tahu.

Saat mengetahui kalau dia sudah sampai di rumahnya, aku segera menghubungi dia untuk meminta penjelasan kenapa dirinya sampai tega berkhianat.

" Maaf, waktu itu kan aku belum yakin sama kamu ".  

Balasan pesan itu malah membuatku semakin geram dan tak bisa lagi untuk membendung air mataku.

" Kalo gak yakin, kenapa perhatian sampe sebegitu nya? Aku sakit pun kamu yang bawa aku ke dokter, kamu yang bawain aku makanan, ulang tahun pun kamu yang ngerencanain kejutan ! "  Dengan tangan yang gemetar karena emosi, tapi akhirnya berhasil membalas pesan dia sepanjang itu.

" Aku kaya gitu karna dulu juga kamu cuma ngejadiin aku pelarian !"

Pesan balasan kali ini pun membuat aku semakin emosi. Dia sampe setega itu hanya karena ingin balas dendam, tapi kenapa perhatian nya berlebihan. Dan aku pikir semuanya baik-baik saja.

Setelah kejadian itu, aku dan dia nyaris putus. Tapi karena kami mencoba menyelesaikan masalah dengan komunikasi yang baik, akhirnya hubungan kami kembali membaik.

Setelah saling meminta maaf, dia pun berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

Hubungan kami pun berjalan tanpa ada masalah yang berhubungan dengan orang ketiga lagi. Tapi kemudian kami kembali di uji.

Sore itu, setelah beberapa bulan pertengkaran terjadi. Aku mendapat kabar kalau dia sedang di rawat di rumah sakit. Aku merasa kehilangan karena tidak ada pesan masuk darinya. Padahal aku sudah menyiapkan hadiah ulang tahun untuknya.

Dua minggu berlalu, dia masih belum kunjung sembuh. Dan pada saat itu, ayah dan ibuku mengajak aku untuk menjenguknya di rumah sakit. Dengan girang aku pun menyetujui ajakan ibuku.

Sesampainya di rumah sakit, ku lihat dia terbaring lemas dengan di pasang alat infus di lengannya. Dan hanya di temani oleh ayahnya.

Tapi saat melihatku, terlihat sedikit ada rasa bahagia yang terpancar dari matanya. Dia mencoba untuk duduk dari tempat tidurnya namun ibuku melarangnya.

Orang tuaku dan ayahnya berbincang diluar. Aku menarik kursi di samping tempat tidurnya dan meletakkan hadiah beserta makanan di atas lemari pasien.

" Itu hadiah apa?"  Tanyanya saat melihat benda berbentuk kotak yang di balut kertas kado.

" Itu tadinya mau aku kasih buat kamu kalo kamu kerumah, tapi kmu nya malah sakit "  aku menjawab sambil tertunduk yang di susul dengan tangisan.

Bagaimana aku tidak sedih, hal yang aku rencanakan malah gagal.

" Liat kamu kesini aja aku udah seneng "  ucapnya dengan mata yang terus menatapku yang masih berlinang air mata.

Hampir lima belas menit aku menemani dia. Dan orang tua ku mengajakku pulang, tapi setelah itu ibuku memberi sebuah pilihan.

" Mau ikut pulang atau tetep disini?"  Tanya ibuku yang tak langsung aku berikan jawaban.

Kini aku dalam keadaan dilema.

" Kalo nginep disini, aku gak kuat begadang, kalo aku pulang rasanya aku gak tega "  aku terus bergumam dalam hati.

" Jadi gimana, ini udah sore ?" 

Pertanyaan ibuku sontak membuatku kaget dan membuyarkan rasa bingungku.

" Aku di sini aja, biar nanti malem ayah Rian bisa istirahat. "

Sebenarnya aku lebih memilih menginap di rumah sakit karena aku masih benar-benar belum puas melihat dia. 

Setelah orang tuaku pulang, ayah Rian pamit membeli makanan karena dia belum sempat makan dari siang. 

" Bapak beliin kamu juga makanan yah,kamu mau apa ?"  

Aku hanya menjawab tidak usah karena aku sudah makan. Padahal nafsu makan ku hilang setelah tahu kondisi dia.

Hari sudah malam, ku lihat ayah Rian terlihat mengantuk. Matanya memang melihat ke arah televisi, tapi terlihat sangat jelas jika beliau sudah tidak bisa menahan rasa kantuknya.

Aku pun menyarankan beliau istirahat, tapi sempat menolak karena tidak tega kalau aku harus berjaga sendirian.

Setelah aku yakinkan, akhirnya beliau tertidur. Mataku juga mulai ikut mengantuk, tapi aku tidak bisa tidur.

Aku nyaris ketiduran, tapi ada seseorang menepuk pelan lenganku. Rupanya itu Rian, dia ingin meminta ku untuk mengambilkan kresek. Ternyata dia tidak bisa menahan rasa mual nya, padahal baru setengah jam dia makan dan itupun hanya sedikit.

Paksaan dan tangisanku tak membuat dia makan menjadi lahap. Itu membuat aku semakin takut kehilangan dirinya.

 Karena rasa takut dan kurang tidur akhirnya aku pun ikut sakit sesaat setelah menginap di rumah sakit.

Hampir satu bulan dia di rumah sakit, akhirnya aku mendapat kabar baik dan juga kabar buruk. Dia sudah sembuh  meskipun harus berobat jalan selama enam bulan. Dan kabar buruk nya dia sudah di keluarkan dari tempat dia bekerja karena saat dia di rawat, hanya memberi kabar dua kali saja. Setelah itu dinyatakan keluar.

Setiap bulan aku selalu setia menemani dia mengunjungi rumah sakit sampai akhirnya dinyatakan sembuh total.

2 februari 2016, hari penentuan dimana aku dan dia akan berpisah atau tidak.

" Kamu bener ikhlas kalau aku tinggal ke Batam?"  Tanyanya dengan nada setengah tidak tega.

Kami masih terduduk di bangku taman rumah sakit, karena pada saat itu hari terakhir dia berobat jalan. Dan aku masih belum bisa memberikan jawaban yang tepat meskipun sebelum kami bertemu, aku sudah memberikan jawaban.

" Batam ke Bandung cukup jauh loh "  jelasnya dan aku hanya diam tertunduk karena merasa benar- benar bingung.

Pada saat itu aku tidak bisa mengambil keputusan. Dalam pikiranku hanya takut kehilangan. Tidak ada yang sanggup untuk terpisah dengan seseorang yang kita sayang, terlebih sudah menciptakan beribu kenangan.

Takut dia berpaling di luar sana? Iyah, hal itu yang semakin memberatkanku, terlebih dia pernah berkhianat. Bukan tidak bisa saling percaya, terkadang kepercayaan mudah sekali di hancurkan. 

Bagiku sebuah hubungan jarak jauh itu ibarat rumah. Seberapa kokoh nya suatu hubungan, seberapa besar kepercayaan satu sama lain, jika salah satu tiang pondasi nya tidak berdiri kuat. Maka hancurlah hubungan kita. 

Aku takut salah satu hati kita tidak memiliki pendirian yang kuat untuk menjalani hubungan tanpa saling bertemu. Dan akhirnya lebih memilih cinta yang baru.


* Bersambung*














Wednesday, January 19, 2022

Perjuanganku Dan Kamu Bertemu Pak Penghulu Part 2

 





Kalau dia menghubungiku nanti, aku harus jujur padanya. Ini tidak bisa aku lanjutkan ".

Gumamku dalam hati seraya berjalan ke arah rumahku yang tak jauh dari rumah tetanggaku. 

Bagiku  rumah itu jadi salah satu saksi awal takdir kami dipersatukan.

Sesampainya di rumah, Ibuku menanyakan dimana seseorang yang telah aku temui tadi dan bertanya kenapa aku tidak mengajaknya masuk.

Aku hanya bisa menjelaskan pada ibuku kalau aku sudah menyuruhnya pulang,setelah dia mengeluhkan rasa kantuknya. 

Setelah menjawab beberapa pertanyaan dari ibuku, aku pun beranjak ke lantai atas menuju kamarku dan langsung menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur, hingga aku lupa untuk menaruh tasku.

Sambil berbaring, aku terus berpikir bagaimana cara mengungkapkan bahwa aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan yang lebih dari pertemanan.

Kuambil ponsel, lalu menyandarkan bahuku pada tumpukan bantal yang berada tepat di belakangku. Dan jariku mulai mencari nomor seseorang yang akan aku hubungi.

" Kalo udah nyampe, hubungi aku " ,  isi pesan yang aku kirim untuk Rian.

Sambil menunggu balasan pesan yang aku kirim, aku putuskan untuk mandi lalu berganti pakaian.

Satu jam sudah berlalu, aku masih menunggu pesan balasan dari Rian sambil bersantai di tempat tidur.

" Tringgg ",  aku langsung mengambil ponsel yang aku letakkan di sampingku. 

" Aku udah nyampe ",    rupanya itu pesan balasan dari Rian.

Dengan rasa cemas dan bingung karena tidak tahu harus berkata apa, akhirnya aku memberanikan diri untuk berkata jujur tanpa basa-basi.

" Maaf bukan maksud mau bikin kamu sakit hati, tapi aku mau kita temenan aja ".

Pesan pun langsung aku kirimkan. Dengan perasaan yang tidak karuan, aku masih memandangi ponselku dengan harapan dia segera membalasnya.

Beberapa menit kemudian ponselku kembali berdering. Dengan sigap aku membaca pesan balasan darinya. Setelah aku membaca nya, aku cukup tercengang setelah membaca pesan balasan yang dia kirim.

" Iyah gak apa-apa ".

Hanya itu jawaban yang dia kirim. Tanpa ada sepatah kata pun pertanyaan yang muncul darinya. Aku pikir dia akan bertanya apa alasanku sampai mengirim pesan seperti itu untuknya.

Karena dia hanya menjawab itu saja, akhirnya aku berinisiatif untuk bertanya apakah dia merasa sakit hati karena permintaanku.

Jawaban yang dia berikan lagi-lagi membuat aku bertanya-tanya.

" Apa sebelumnya dia gak bener-bener anggap aku lebih dari sekedar temannya?"  

Pertanyaan itu yang tiba-tiba muncul dari pikiranku,setelah aku mendengar jawaban darinya yang menjelaskan bahwa dia tidak sedikit pun merasa sakit hati ataupun kecewa.

" Maaf aku mau kita temenan aja, soalnya aku masih belum bisa lupain masa laluku !"  

Aku mencoba menjelaskan semua nya karena dia masih tidak bertanya kenapa aku bisa setega itu.

" Jadi selama sebulan aku cuma dijadiin pelarian dong? Haha gak apa-apa ko ". 

Membaca balasan pesannya membuat aku jadi merasa bersalah.

" Sekali lagi maaf, jadi kita tetep temenan kan?"

Itu pesan terakhir yang aku kirim untuknya,dan dia pun mengiyakan permintaanku.

Setelah hari itu, aku merasakan ada hal yang aneh. Hari-hariku mendadak seperti sepi, padahal suasana dirumahku selalu ramai.

Aku mulai sering mengecek ponselku, tapi tidak ada satu pesan dari siapapun. Biasanya setiap jam dua belas selalu ada pesan masuk, iyah pesan dari Rian. Dia selalu menghubungiku di sela-sela jam istirahat kerjanya.

Tapi kali ini berubah, tidak ada satu pesan pun darinya. Tanpa disadari aku seperti merasa kehilangan dia.

Seminggu telah berlalu, aku semakin merindukan dia. Perhatian yang selalu dia berikan meski hanya sekedar lewat pesan singkat, kini tak ada lagi.

Sudah beberapa hari ini aku terbaring lemah karena penyakit asam lambungku kembali kumat. Makanan enak pun tidak terasa lezat di lidahku. Aku mulai mengeluhkan rasa bosanku karena hanya bisa berbaring di tempat tidur.

" Tringgg ", ponselku berbunyi, aku pikir itu hanya pesan dari operator, tapi ternyataaa...

" Kamu lagi sakit ?"  Isi pesan yang baru saja dikirim oleh seseorang.

" Dari Rian !"  Dengan girang,aku langsung membalasnya.

" Kenapa kamu tahu ?" 

Aku pun balas bertanya karena aku masih terheran dari mana dia bisa tahu kalau aku sedang sakit. 

" Ibu kamu yang ngasih tau, katanya kamu sakit gara-gara selama seminggu gak ada pesan dariku ".

Belum sempat aku membalasnya, aku langsung berlari kelantai bawah untuk mencari ibuku. 

Rupanya ibu ku tengah asik menonton siaran televisi favoritnya.

" Ibu, kapan ibu mengubungi Rian?" ,Tanyaku sambil masih memegang ponsel.

Setelah mendapatkan jawaban dari ibuku. Muncul rasa malu, bahagia, sekaligus sedikit ada rasa kesal juga. 

Rupanya diam-diam ibuku selalu memperhatikan gerak-gerikku. Tanpa bertanya, insting keibuanya bisa langsung memahami apa yang sedang terjadi pada anaknya. 

Sebelum pesan dari lelaki itu menghilang selama satu minggu, ibuku selalu memperhatikanku senyum-senyum sendiri saat sedang saling berbalas pesan dengan Rian. Tapi setelah itu aku terlihat murung di mata ibuku.

Aku pun berlari ke kamarku lagi.

" Maaf, Ibuku diem-diem ambil ponsel saat aku tidur ".   Balasku dengan perasaan yang semakin campur aduk.

" Emang bener yah sakit cuma karna itu?" 

Aku menjawab tidak, karena kalau aku jujur, entah bakalan semerah apa wajahku yang saat ini pun sudah seperti kepiting rebus.

" Masa sihh, hayo ngaku aja?"  Goda nya yang membuat aku semakin malu.

Setelah kejadian yang memalukan karena ulah usil ibuku. Akhirnya kami mulai sering berkomunikasi lagi, tapi hanya sebagai teman,tidak lebih.

Satu bulan telah berlalu,kami kembali semakin dekat. Rasa nyaman diantara kami mulai tumbuh kembali. 

Seperti yang sudah-sudah. Tanpa ada ungkapan rasa "aku sayang kamu, mau gak jadi pacar aku lagi",  kami akhirnya kembali menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman.

Sejenak aku berpikir, ini aneh. Awal dia datang di kehidupanku, aku tengah merasakan sakit, dan untuk kedua kalinya, disaat aku sakit, dia datang kembali. Lagi- lagi tanpa aku sadari, rasa sakit pun seperti menghilang hanya karena aku mendapatkan pesan singkat darinya.

Satu tahun berlalu, kali ini aku mulai benar-benar tulus menjalani hubungan dengannya. Kami pun mulai sering bertemu. Dia juga begitu sangat memperhatikanku. 

Sore hari saat sedang hujan,tepat di hari ulang tahunku, diam-diam dia memberikan kejutan untukku dengan membawa kue yang dia beli bersama adik perempuanku.

Rupanya ibu dan adikku terlibat dalam rencana kejutan yang dia buat untukku. Padahal dua hari sebelum ulang tahunku, dia membelikan aku sebuah boneka beruang. Lucu memang, di ulang tahun yang ke 19 aku masih mendapatkan sebuah boneka.

Hal kecil itu membuat aku terkesan. Bagaimana tidak, pada hari itu dia baru saja pulang dari tempat kerjanya, tapi masih menyempatkan memberi kejutan untukku.

Semakin lama kita menjalani hubungan, perhatian itu semakin dia tunjukkan. Saat dia mengetahui aku sedang sakit, perhatian yang dia tunjukkan bukan hanya lewat pesan, tapi juga lewat tindakkan.

" Aku lagi sakit, maag ku kambuh ",  keluhku.

" Aku pulang jam 8 malem, nanti pas aku kerumah kamu, kamu harus udah siap. Kita ke dokter ". 

Mataku terbelalak melihat isi pesan yang dia kirim. Aku hanya berniat memberitahu kalau aku sedang kurang sehat, tapi respon dia sungguh diluar dugaan.

*Bersambung*


Tunggu cerita selanjutnya, dan terimakasih sudah membaca 🤗













Monday, January 17, 2022

Perjuanganku Dan Kamu Bertemu Pak Penghulu Part 1







 Hai semua ! Inem nongol lagi nih 🤭. Kali ini inem mau berbagi kisah yang menceritakan lika liku untuk menjemput Bapak Penghulu. Kalo ketemu doang sih gampang, tapi kalo bertemu Pak penghulu buat dapetin dua buku yang tertera fotoku dan fotomu beuhhhh susah bener. Inem mulai sekarang aja ceritanya, takutnya Inem keburu lupa apa yang mau Inem tulis,soalnya Inem kalo nulis mirip tukang tahu bulat, sukanya di bikin dadakan 🤭

Selamat membaca...


Ini kisahku dengan dia yang tak pernah kuduga. Aku dan dia dipertemukan Tuhan dengan cara yang unik dan dipersatukan dengan cara yang terbilang sulit. 

Saat itu aku sedang dalam keadaan yang kurang sehat, mau nya hanya berbaring di tempat tidur. Sampai mengambil makan harus Ibuku yang ambilkan. 

* Trinkkk *  nada pesan masuk itu terdengar olehku yang tengah berbaring. 

Dengan tangan yang lemas karena hanya sedikit makanan yang masuk ke dalam perutku, aku bersusah payah mengambil ponsel karena takut itu pesan penting.

" Hai !! "  isi pesan yang tertera di layar ponsel yang entah dari siapa karena nomor pengirim tidak terdaftar di kontakku.

Saat aku membalas dan mencoba bertanya dia siapa, dia malah menyuruhku untuk menebak siapa dirinya.

" Aneh !"  Gerutuku dalam hati.

Dengan pembahasan yang panjang lebar, akhirnya dia memberitahu siapa dirinya.

" Rian, kamu Siera kan? ",   balasnya setelah aku memaksa dia untuk segera memberitahuku siapa nama nya, sekaligus memastikan kalau aku perempuan yang dia maksud atau bukan.

Aku pun langsung teringat dengan laki-laki yang pernah satu kelas denganku saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Tapi pada saat itu kami tidak begitu akrab, hanya sesekali menyapa.

" Iyah, kamu Rian yang pernah satu kelas sama aku kan?"   Kini giliranku yang memberikan pertanyaan, dan dia pun mengiyakan pertanyaan dariku.

Setelah kami saling balas pesan, akhirnya aku tau darimana dia mendapatkan nomorku dan apa tujuannya. 

Rupanya dia diam-diam menyimpan nomorku dari grup acara reuni sekolah. Dan tujuan dia menghubungiku katanya hanya iseng.

Aku pun baru teringat kalau aku juga tergabung dalam grup itu dan salah satu temanku membuat grup dan dengan iseng nya Rian tiba-tiba menghubungiku.

Entah berapa jam kami saling membalas pesan, hingga aku lupa kalau sebelumnya aku sedang sakit, tapi tanpa disadari, aku seperti merasa baik-baik saja. Tidak mengeluhkan rasa pusing sedikitpun. 

Selama tiga bulan ini kami masih berlanjut saling membalas pesan, kami mulai menjalin pertemanan yang begitu dekat, tidak seperti saat masih sekolah, berbincang panjang lebar pun tidak pernah.

Hari-hariku penuh warna setelah mengenal dia, tapi kami belum pernah bertemu lagi setelah tiga tahun lulus dari sekolah.

Saat ini kami hanya sebatas teman, tapi perhatian lewat pesan yang dia berikan seolah lebih dari sekedar teman.

" Jangan telat makan yah !"   

Pesan itu sering dia ingatkan padaku. Lama-lama kami saling merasa nyaman satu sama lain. 

" Mau gak kamu jadi pacarku?"  Pertanyaan itu yang biasanya di utarakan saat meminta seseorang menjadi kekasihnya.

Tapi hal itu tidak terjadi pada kami berdua.  Tanpa banyak kata, akhirnya kami pun mencoba menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman sebelum kami memutuskan untuk bertemu.

Sampai ketika dimana dia meminta untuk saling bertemu. Dan aku pun setuju.

Dengan rasa gugup dan detak jantung yang tidak menentu, aku menunggu dia di dekat mini market, kami sengaja memutuskan untuk bertemu di sana bukan karena aku tidak jujur kepada Ibuku, tapi karena dia tidak tahu letak rumahku.

Saat aku sedang bermain ponsel, laki-laki yang masih menggunakan kemeja kerja berhenti dengan motor nya tepat di hadapanku. Dia sengaja langsung menemuiku setelah jam kerja berakhir. Dan pada saat itu dia kebagian shift malam, jadi baru pulang esok harinya. Karena jarak rumahku lebih dekat dengan tempat dia bekerja, dia memutuskan untuk menemuiku terlebih dulu karena jarak rumahnya sekitar satu jam dari tempat dia bekerja.

Kami pun mengulang perkenalan lagi karena ini kali pertamanya kami bertemu lagi meskipun setiap hari kami saling berbalas pesan.

Dia tampak berbeda, sangat jauh ketika kami masih satu sekolah. Tampak jauh lebih tinggi dan masih dengan hidungnya yang mancung. 

Diawali dengan menanyakan kabar satu sama lain. Setiap hari berkomunikasi lewat pesan singkat, rupanya tak menghilangkan rasa canggungku saat berhadapan langsung dengan dia. 

Aku yakin dia merasakan dinginnya telapak tanganku saat tadi berjabat tangan dengannya.

" Yuk naik !"   Kepalanya memberi isyarat agar aku segera duduk di motor yang sedang dia tumpangi.

Masih dengan perasaan yang tidak karuan, aku menggangguk dan dengan segera aku duduk tepat dibelakangnya. Rupanya dia hendak membawaku jalan-jalan. Selama di perjalanan pun dia yang lebih banyak bertanya, dan aku hanya menjawab. Sedangkan saat berbalas pesan, akulah yang lebih sering megeluarkan seribu ocehan.

Kami hanya beberapa jam mencari angin dan duduk-duduk di Taman, setelah itu dia mengantarku pulang. Tidak seharian kami bertemu karena aku pun tidak tega kalau membiarkan anak orang tidak tidur hanya karena bertemu denganku.

Aku meminta dia megantarku sampai di depan gerbang rumah tetanggaku. Pada saat itu, aku tidak membiarkan dia masuk ke rumahku. Aku pun belum siap untuk memperkenalkan dia pada Ibuku. 

Pada saat itu pun aku sama sekali tidak memberikan nya air minum, sampai-sampai dia membeli minuman sendiri. Setiap kali ingat kejadian itu, aku selalu merasa bersalah, membiarkan laki-laki yang kini sudah jadi suamiku kehausan. Karena pada saat itu aku hanya berpikir kalau aku pulang dulu ke rumah, Ibuku pasti memintakaku untuk mengenalkan dirinya.

Aku bersikap seperti itu bukan tanpa sebab. Setelah bertemu dengannya hati dan pikiranku tiba-tiba membandingkan dia dengan masa laluku, yang akhirnya aku merasa dia tidak tepat untukku. Tapi hal itu tidak aku utarakan langsung padanya.

Setelah dia menghabiskan minumannya, sedangkan minumanku masih utuh di genggaman tanganku, akhirnya dia pamit pulang karena dia mulai mengeluhkan rasa kantuknya. Aku pun tidak tega jadinya.

" Hati-hati!"  jawabku sesaat setelah dia berpamitan dan mulai melajukan motornya.

" Kalau dia menghubungiku nanti, aku harus jujur padanya. Ini tidak bisa aku lanjutkan ".

Gumamku dalam hati seraya berjalan kearah rumahku yang tak jauh dari rumah tetanggaku. Bagiku  rumah itu jadi salah satu saksi awal takdir kami dipersatukan.


*BERSAMBUNG*

Penasaaran kan bagaimana kelanjutan kisah Rian dan Siera ??  Tunggu cerita Inem selanjutnya yahh 😊 












Senandung Pilu Putih Abu Abu Part 2








Kurang lebih lima belas menit jarak dari rumahku ke sekolah, itupun kalau arus lalu lintas sedang lancar.

" Stop Bang !"  pinta seorang Ibu yang duduk di samping sopir.

Suara ibu itu sontak membuyarkan lamunanku. Aku lihat kearah depan, ternyata ibu itu berhenti di dekat toko klontong yang tidak jauh dari sekolahku.

Aku pikir lebih baik turun berbarengan dengan ibu itu saja, toh hanya tinggal beberapa langkah lagi menuju gerbang sekolah.

" Ini Bang !"   Aku menyodorkan selembar kertas yang tertera gambar pahlawan dari dalam saku bajuku.

" Ini kembalian nya Neng "  aku mengambil nya lalu ku masukkan ke kantung kecil yang menempel di bajuku.

" Makasih Bang !" 

 Sekolah sudah sangat dekat, dan langkahku terasa  berat. Tapi aku bisa apa, tidak mungkin aku bolos sekolah.

" Ayo kamu pasti bisa, kamu pemberani ."

 Ucapku dalam hati hanya untuk memberi semangat pada diri sendiri, yang sejujurnya aku mulai takut untuk melanjutkan langkahku.

 Detak jantungku berdegup begitu kencang, tubuhku seolah tak bertulang, aku tak mampu berjalan dengan benar. Hingga akhirnya kakiku tanpa sengaja tersandung batu.

Tapi sepertinya ada Malaikat yang tak terlihat yang telah menolongku, hingga aku tidak sampai tersungkur ke tanah.

**†**†**

* SMA PURNA BAKTI *  itu lah yang tepampang di plang atas gerbang sekolahku. 

" Pagi Neng !"   Sapa pria bertubuh jangkung tapi tidak begitu gemuk. 

" Pagi juga Pak Mul !"  

Aku membalas sapaan Pak Mulyadi, beliau adalah satpam di sekolahku yang bertugas membuka dan menutup gerbang sekolah, terkadang Pak Mul juga bertugas menghukum murid-murid yang terlambat datang. 

Pak Mul selalu menyapa murid-murid yang dia temui di pintu gerbang sekolah, bahkan guru-gurupun tak luput dari sapaan nya.

" Pagi Bu !"    Sapanya pada salah satu guru dari kelas lain dan di balas oleh senyuman.

Lapangan yang biasa di pakai tempat untuk berolahraga sudah cukup ramai. Beberapa pasang bola mata tengah menyaksikan kakak kelas yang sedang bermain voly. Aku terus berjalan, melewati sisi lapangan untuk menuju ruang kelasku.

* Duggg..*

" Awww !!"  

Aku meringis kesakitan, lenganku seperti di pukul menggunakan rotan. Ada rasa pedih, pegal efek terkena lemparan bola voly yang cukup keras.

" Maaf yah, kakak gak sengaja ."   Ucap lelaki yang baru saja menghampiriku untuk mengambil bolanya kembali.

" Gak apa-apa kok kak "    jawabku dengan menunjukan senyum manis, meskipun sebenarnya aku ingin secepatnya berlari ke toilet lalu menangis.

Aku melihat beberapa teman perempuan yang satu kelas denganku melihat kejadian yang baru saja menimpaku.

Tapi mereka seolah tak mengenalku. Jangankan menghampiriku untuk bertanya apa aku baik-baik saja, menyapaku saja tidak.

" Awal hari yang buruk, entah apa lagi yang harus ku hadapi hari ini "  gerutuku dalam hati.

Aku menepuk pelan lengan bajuku karena ada noda dari bola yang tiba2 mendarat di lenganku, saat aku setengah melamun saat berjalan.

Meskipun cedera yang aku alami masih terasa begitu sakit, tapi aku harus tetap melanjutkan langkahku melewati beberapa ruang kelas dan harus menaiki anak tangga karena ruang kelasku ada di lantai dua.

" Tuhan, ku mohon bantu aku untuk menghadapi setiap tantangan yang siap menghampiriku hari ini !"   Doa ku dalam hati.

Kini aku berdiri tepat di pintu ruang kelasku. Kaki kanan ku mulai melangkah masuk ke ruang kelas.

Beberapa anak laki-laki terlihat ada yang tengah duduk di meja, ada yang tengah main kejar-kejaran, dan sebagian anak perempuan tengah asik bersenda gurau.

Suasana ruang kelas begitu ramai, tapi terasa sangat sunyi untukku. Seperti hanya ada aku saja yang hanya di temani papan tulis serta bangku yang berjejer tersusun rapi.

Aku berjalan melewati setiap bangku yang sebagian besar sudah ada yang menempati. 

Aku mencoba memberikan senyuman pada beberapa teman perempuanku saat aku melewati bangku mereka. Tapi senyum yang aku berikan hanya dapat balasan tatapan sinis.

" Aku tau mana mungkin mereka mau tersenyum padaku "   umpatku dalam hati.

Aku segera duduk serta meletakkan tas ku dan kujadikan senderan di kursi paling belakang, tepat di barisan meja guru.

Sekilas aku mengingat kejadian tak mengenakan yang pernah terjadi padaku, sampai akhirnya aku harus pindah tempat duduk.

Yang awalnya di barisan kedua tepat di seberang meja guru, sekarang harus duduk di barisan paling belakang. Perasaan sakit dan malu bercampur jadi satu.

Hari itu semua murid sangat serius mendengarkan guru bahasa indonesia yang sedang menjelaskan materi pembelajaran di depan kelas.

" Teks ekposisi adalah teks yang berisi gagasan atau pendapat yang bertujuan supaya orang lain memahami gagasan atau pendapat tersebut ."

" Karena teks eksposisi bersifat gagasan, maka isinya berisi sudut pandang tertentu yang sifatnya subjektif atau mungkin terjadi perbedaan pendapat "   terangnya lagi sembari sesekali menatap wajah murid nya satu persatu.

" Apa masih ada yang kurang paham mengenai penjelasan yang sudah ibu terangkan tadi ?"   Tanya nya pada semua murid.

*Krikkk..krikkk..*

Suasana kelas semakin hening karena tidak ada satu pun suara yang terdengar dari mulut semua murid.

" Oke, Ibu anggap kalian sudah paham semua "  ujarnya lagi.

Sudah menjadi kebiasaan saat guru bertanya apakah ada yang masih belum paham tentang materi yang di berikan, tapi hanya di jawab dengan saling melirik teman sebangku mereka.

" Sebentar lagi ibu ada rapat, nanti kalian catat apa yang salah satu teman kalian tulis di papan tulis ."   Ucapnya.

" Rini, kamu tolong tulis semua materi yang udah ibu rangkum yah !"   Ucapnya yang kini sedang menatap ke arah bangku Rini yang di balas dengan anggukan temanku itu.

" Ya sudah, Ibu ke ruang rapat dulu, kalian jangan ribut !"

" Rini, catatan nya sudah ibu siapkan, nanti kamu ambil di meja ibu "  ucapnya seraya melangkah keluar kelas.

Rini melakukan apa yang di pesankan Bu Sinta, dan mulai mencatat materi yang di berikan di papan berwarna putih.

Semua murid terlihat sedang mempersiapkan alat tulis mereka agar bisa menuangkan semua materi di buku masing-masing.

Aku pun mulai mengikuti apa yang di tulis Rini. Selang beberapa menit, terdengar suara teriakan perempuan di belakangku.

" Aduhh gak keliatan tau gak !"  Teriaknya. 

Mendengar itu aku tetap fokus menulis, toh aku tidak mau tahu alasan Dina berteriak.

" Iyah nih, udah celingak-celinguk sampe berdiri tetep gak keliatan juga ."  Teriak Wida teman sebangkunya.

" Awas dong pohon beringin, aku mau nulis jadi susah nih !"   Teriak Dina lagi yang di sambut dengan seruan kawan-kawan geng centilnya.

Dina, Wida, Devi, dan Tina adalah empat serangkai yang sepertinya sulit untuk dipisahkan.

Kemana-mana mereka selalu berempat. Dina bak ratu bagi Wida, Devi, dan Tina. Dan mereka bertiga mungkin seperti dayang-dayang bagi Dina.

Dikelas ku terdiri dari dua belas murid perempuan dan delapan belas murid laki-laki.

Meskipun ada banyak teman perempuan, tapi di sebelah kursi ku hanya ada tas gendong berwarna biru milikku.

Salah satu teman perempuan yang harus nya bisa duduk di sebelahku,dia enggan untuk mengisi kursi kosong yang berada di sampingku. Dan dia lebih memilih duduk bersebelahan dengan teman laki-laki.

" Woyyy, Pohon beringin awas dong !!!"  Dengan serentak anggota geng itu berteriak, dan di susul dengan seseorang yang memukul pelan pundakku. Dengan segera aku menoleh.

" Dari tadi kita manggil kamu, cape tau udah teriak-teriak "   bentaknya.

Dina dan Wida duduk tepat di belakang kursi ku. Sedangkan Devi dan Tina duduk di belakang mereka.

" Kapan kalian manggil ?"   Ucapku ramah.

" Budeg atau oneng sih, dari tadi kita teriak-teriak ada pohon beringin yang ngalangin tulisan di papan tulis "  bentaknya dengan nada menghina.

" Tapi aku gak duduk sama pohon beringin "   terangku masih dengan nada lembut.

" Itu rambut kamu, bikin kita susah nulis "  hina nya lagi.

" Bisa gak sih duduk nya pindah, noh masih ada bangku kosong "   lirikannya mengarah ke kursi di pojokkan.

Tanpa banyak kata aku pun membereskan alat tulis dan ransel untuk aku pindahkan ke kursi belakang.

Hampir semua murid menatapku, ada beberapa yang seperti setengah menertawakan ku.

Tak ada satu orang pun yang mencoba agar aku tak memasukkan ke dalam hati atas ucapan yang telah mereka lontarkan.

Kejadian itu cukup menggores luka, seperti luka dalam. Tak terlihat, tapi terasa sakit dan hanya aku yang tahu seperti apa rasa sakitnya.

Aku hanya bisa menahan isak tangis. Tapi tak ku perlihatkan raut wajah sedihku pada mereka.

Cukup aku pendam saja apa yang saat ini aku rasakan.

  





Sunday, January 16, 2022

Wattpad

 





.


 Cerita ku bisa di baca juga di aplikasi wattpad. Yang mau mampir boleh..boleh...boleh ☺️🤗

Saturday, January 15, 2022

Cucu Untuk Mereka Part 1




Tulisan kali ini masih berlanjut dari pertanyaan " kapan nikah " , memang tak bisa lepas dari semua teror pertanyaan yang mungkin terasa sepele saat di lontarkan.

Setelah menikah aku bisa terbebas dari pertanyaan " kapan nikah ".  Tapi itu  tidak  berlangsung lama. Terlebih setiap kali  bertemu orang, sekarang aku malah merasa seperti artis papan tulis , " ehh salah maksudku artis papan atas ".  

Usia pernikahanku baru menginjak tiga bulan. Dan suami pun tidak tergesa-gesa untuk segera memiliki keturunan.

Menurutnya biarkan kita nikmati saja masa-masa awal pernikahan. Aku pun setuju dengan pendapatnya itu. Tapi aku mulai terpengaruh dengan ucapan seseorang yang membuat aku akhirnya mulai berfikir kembali tentang komitmen yang sebelumnya kami pegang.

" Mas aku ke warung dulu yah ! " 

Karena tak mendengar jawaban dari suamiku, akhirnya aku kembali ke kamar dan melihat suamiku yang masih tertidur lelap.

" Oh iyah, sekarang hari Minggu, dia pasti bangun agak siangan "   gerutuku dalam hati.

Aku bergegas untuk membeli sayuran untuk ku masak hari ini. 

" Ehh ini Mirna menantu nya Bu Surti yang  tiga bulan lalu nikah yah !"  Sapa seorang ibu yang tak sengaja berpapasan denganku di jalan.

" Iyah bu "  jawabku seraya melemparkan senyuman manis.

" Ibu mau kemana ?" Tanya ku sambil sedikit memperhatikan penampilan nya yang teramat rapi bak akan menghadiri hajatan.

" Biasa, mau belanja sayuran ke warung Bi Inah "  jawabnya sambil setengah menepuk pundakku.

" Kirain pagi-pagi mau ke pesta, cuma beli sayur aja rapi banget, emas pun banyak melekat di tubuhnya. Gimana kalo pergi kondangan, mungkin satu toko plus etalase nya di pake semua.... Astagfirulloh gak boleh nyinyir "  gumamku dalam hati.

" Ya udah yuk ngobrol nya kita sambil jalan aja, kamu juga pasti mau belanja kan? "

Aku mengiyakan pertanyaan ibu tadi, dan kebetulan kami akan berbelanja di tempat yang sama.

" Gimana udah isi belum?"  Seperti biasa beliau bertanya sambil menepuk pundak. Ibu-ibu mah selalu begitu, untung saja aku tidak tersungkur.

" Alhamdulillah udah isi nasi anget satu piring sama kerupuk di remukin pake kecap dan gak lupa minum nya teh botol sosro ". 

Ingin rasanya aku jawab begitu, tapi tak mungkin perkataan seperti itu aku lontarkan, terlebih yang memberi pertanyaannya lebih tua dariku.

" Belum Bu, saya sama suami gak buru-buru kok ".  

" Jangan di tunda-tunda, ibu mertua kamu juga pasti udah pengen nimang cucu tuh "  kembali tepukan itu mendarat di pundakku.

Jarak dari rumah ke warung biasanya hanya beberepa menit. Sekarang tiba-tiba seperti jalan di tempat. 

Sudah bejalan sejak tadi, dan akhirnya baru mendarat di tempat tujuan. Dan terlihat para emak sedang asik memilah sayuran. Dan seorang ibu menatap ke arah kami.

" Wahh kalung Bu Titi baru lagi nih !"   Tanya seorang ibu yang tengah memegang seikat bayam.

Para ibu lainnya juga ikut memuji kalung yang Bu Titi pakai.

" Iyah ini hadiah dari suami saya "   jawabnya seraya memutar-mutar liontin yang menggantung di leher nya.

" Ehh Mirna, mau belanja yah ?"  Tanya salah seorang ibu yang sudah tak asing bagiku karna sesekali bertemu saat di warung.

" Iyah bu "  tak lupa ku lemparkan senyum manis andalanku.

" Gimana udah isi belum?"

Ya Tuhann pertanyaan ini lagi. Aku mulai lelah menjawab pertanyaan mereka. 

" Belum Bu ".

" Suami nya coba banyakin makan toge, kamu nya minum jamu, ponakan ibu juga yang bulan lalu nikah udah hamil".  Timpal salah seorang ibu yang sedikit asing untukku.

Tanpa mereka sadari, aku mulai tersinggung dengan perkataan mereka. Seharusnya tak usah membandingkan dengan keponakan mereka. Lagi pula setiap orang rizki nya berbeda. Ada yang cepat dapat anak dan ada yang sulit.

" Iyah Bu, nanti saya coba " jawabku yang sangat bertolak belakang dengan apa yang aku ucapkan dalam hati.

Aku sudah membeli seikat kangkung dan setengah kilo ayam. Cukup itu saja yang aku beli karena bumbu dan bahan lain masih lengkap di kulkas.

" Saya pamit duluan yah Bu !"

Para ibu mengiyakan dengan serentak.

Saat menuju rumah aku berjalan pontang panting, hingga sebelah sandal ku terlepas dari kaki ku. Sandal yang ku pakai memang sedikit licin karena terkena hujan semalam. Entah harus menangis karena teringat ucapan ibu tadi atau harus menahan tawa karna sandal sebelah kiri terlepas.

Sesampainya di rumah, suami ku terlihat sedang duduk di sofa sambil asik memainkan benda yang sedang di pegangnya.

Sudah jadi kebiasaan semua orang, bangun tidur yang pertama di cari ya ponsel nya. Begitu juga dengan suamiku yang entah sedang melihat apa dengan ponselnya itu. Dan kegiatan nya terhenti setelah melihat aku tiba di depan pintu.

" Kamu kenapa, pulang belanja kok cemberut, kaya yang gak di kasih jajan aja "   tanyanya sembari meledek.

" Lahh sekarang malah jadi nangis " dia mulai terlihat kebingungan karena melihat air mata terjun dari kedua bola mataku.

" Mending kita cepet-cepet program, jangan terlalu santai lagi "  pintaku yang masih dalam keadaan menangis. Dan dengan nada heran dia kembali bertanya.

" Kenapa tiba-tiba bilang gitu?"  

" Lagi-lagi aku di tanya udah isi apa belum,  orang tua kamu juga pasti udah pengen gendong cucu "  air mataku makin tak bisa terbendung.

" Kenapa sih malah mikirin ucapan orang lain, suami kamu sendiri aja gak banyak nuntut "  

Mungkin dia mulai kesal, sampai bicara dengan sedikit nada tinggi. Sejenak aku pun berpikir soal ucapan yang coba dia jelaskan padaku.

" Maaf " jawabku singkat dan kepala tertunduk.

Yang suami ku katakan ada benar nya. Suami sendiri saja tidak menuntuku untuk segera memiliki anak, kenapa aku harus pusing dengan perkataan mereka.

" Tapi aku gak nyaman di cecar pertanyaan itu terus, apalagi mulai di banding-bandingin sama orang lain " keluh ku dengan kepala yang masih tertunduk.

Dan kali ini Mas Rian mulai menjelaskan dengan nada lembut.

" Ujian setiap pasangan itu gak sama, ada yang gampang punya anak, ada yang punya anak tapi seret rezeki, ada yang banyak rezeki tapi harus berjuang buat dapet anak "

" Rizki kita alhamdulillah selalu lancar, mungkin ujian kita ya harus sabar nunggu di kasih keturunan, lagian kita juga sambil ikhtiar "  ucapnya seraya menyeka air mataku yang masih mengalir.

" Coba kamu liat acara tv di sebelah, cerita para istri yang di selingkuhin lagi hamil. Itu termasuk contoh ujian rumah tangga "  timpalnya lagi dengan raut wajah yang cukup serius.

Perlahan aku menatap suamiku yang tengah menceramahiku. Dan berkata...

" Kamu suka nonton sinetron gituan ?"  Tanya ku penasaran karena aku tidak pernah melihat suamiku menyaksiakan acara tentang konflik rumah tangga.

" Enak aja, gak pernah lahh "...

" Tapi waktu itu sebelum kita nikah, Mas pernah liat mamah lagi asik nonton itu,  jadi secara gak langsung mas ikut nonton sihh hehehe "   tingkah konyolnya membuat tangisanku berubah jadi tawa tebahak-bahak.

********

" Happy anniversary sayang "  kecupan hangat mendarat di keningku.

Tak terasa hari ini sudah menginjak satu tahun pernikahan kami. Seketika aku mengenang hari dimana aku dan Mas Rian duduk tepat di hadapan Pak Penghulu. Di saksikan kedua belah pihak dan puluhan pasang bola mata. 

Kami bersatu setelah mendengar para saksi mengucap kata sah. Satu kata yang selalu di nantikan setiap kaum hawa. Penantian selama enam tahun akhirnya selesai sudah.

" Semoga hubungan kita segera di lengkapi bayi mungil ya mas "   ucapku lirih.

" Aamiin, udah yah jangan nangis, biar gak sedih lagi, nanti malem kita dinner "   tangan hangatnya mengusap pipiku yang di banjiri air mata.

" Oh iyah, kamu pasti lupa. Minggu lalu mamah nyuruh kita kerumahnya kan. Kita botram selagi aku libur "  

Jarak rumah ibu mertua ku tak jauh dari tempat tinggalku. Tapi rasanya aku enggan untuk ikut acara makan bersama itu. 

" Pasti sama ibu-ibu depan rumah mamah yah "   tanyaku dengan nada sedikit malas.

" Pasti lahh, kamu kan tau sendiri sebulan sekali pasti botram sama tetangga yang lain " .

" Kenapa malah bengong ?"   Mas Rian membuyarkan lamunanku.

Aku dalam keadaan dilema. Jika aku tidak ikut bergabung, nanti dikira tak bisa menghormati mertua. Tapi jika aku ikut, apa aku bisa terus tegar.

" Mas tau apa yang ada di pikiran kamu, "   timpalnya karena aku masih diam membisu.

" Kamu tenang aja, mas pasti jadi perisai nya kamu kok "   kali ini dia membujukku dengan cara merayu.

Aku hanya menyimpulkan senyum, karena  sedang tidak ingin mengatakan satu patah kata pun. 

" Yukk otw ! nanti kalau telat malah keburu mateng semua lauk nya ".   Tangan nya meraih jari jemari ku.

Sejak beberapa bulan terakhir, satu bulan sekali  halaman rumah mertuaku selalu  ramai. Beberapa tetangga mengadakan acara makan bersama. Para wanita memasak dan para lelaki hanya berbincang sambil menunggu semua masakan siap di sajikan.

Hanya beberapa menit dari rumahku. Akhirnya kami sampai di lokasi tujuan. Belum begitu ramai, tapi sudah ada beberapa orang yang datang.

" Nahh dua sejoli udah datang !"   Seru pria yang tengah berbincang dengan bapak-bapak lainnya. Kami pun di sambut hangat.

Bapak- bapak memang berbeda jauh dari para emak. Mereka tidak pernah ingin tahu tentang kehidupan orang lain. Topik yang di bahas pun paling seputar bola, kerja bakti, mancing. Pembahasan yang tidak ada unsur ghibah.

Tapi para emak, topik yang di bahas sungguh menguras emoji. Ehmm maksud nya menguras emosi.

" Ehh Bu, ternyata anaknya Bu. A udah hamil sebelum nikah !"
" Anak nya Bu. B keluyuran terus pulang di  anter lelaki ".
" Anak Bu. C gak pernah ke mana-mana, gimana mau dapet jodoh ".

Itulah sekilas pembahasan para emak. Un faedah bukan? Bisakah topik ghibah para emak di luar sana di ganti. Pembicaraan yang berfaedah, minimal untuk diri sendiri tanpa ada rasa menyakiti.

" Eh Bu, tau gak? Kemaren sandal jepit saya putus, terus berkat ada tukang bangunan, akhirnya sandal saya berfungsi lagi. Tukang nya baik banget ngasih saya paku buat nambal penjepit nya.

" Tau gak Bu? Lipstick saya habis, terus saya korek-korek pakai jari kelingking, akhirnya saya bisa pergi kondangan ".

Sudahlah, setiap hal buruk memang sulit untuk di hilangkan.

" Kamu ke dapur aja langsung, aku disini ngobrol sama bapak-bapak "   pintanya seraya mengusap kepalaku.

Saat memasuki dapur, terlihat ibu mertuaku sedang memilah toge. Dan dua orang lainnya sedang menyiapkan wadah yang akan di pakai.

" Belum pada dateng semua mah "  tanyaku yang tanpa sengaja mengejutkan ibu mertua ku.

" ehh iyah belum, ini mamah sengaja tadi beli toge buat kamu. Biar nanti nya subur ".
Beliau menjawab dengan nada yang ramah, tapi entah kenapa hatiku rasanya sakit. 

" Iyah mah makasih, aku ke toilet dulu yah mau cuci kaki ".  

Aku berbohong pada mertuaku. Aku berlari ke toilet bukan untuk mencuci kaki ku yang tidak kotor sedikit pun. Tapi aku tak tahan ingin meluapkan sesuatu yang membuat dada ku sesak. 

Aku menangis pelan, aku malu. Ada orang lain di sana, tapi tanpa sadar mertuaku sudah membuat ku tersinggung.

Dalam hati, aku mencoba menghibur diri sendiri.

" Inget kata Mas Rian, anak juga termasuk rizki dari Tuhan. Kalo udah rizkinya pasti bakalan aku dapetin "  gumamku seraya mengusap perut dan membayangkan ada jabang bayi dalam perutku.

Aku menyeka jejak air mataku dan membasuh kedua kaki agar mertua ku tidak curiga. 

" Toge nya mamah taro di wadah plastik, nanti di makan mentah lebih bagus "  perintahnya saat melihatku keluar dari toilet.

" Harusnya di awal-awal nikah rutin makan toge, atau jamu penyubur "  ucap salah seorang tatangga yang sedang mengiris cabai.

Mendengar itu aku dan mertuaku hanya membalas dengan senyuman, dan entah apa yang sedang di pikirkan mertuaku setelah mendengar saran yang di lontarkan ibu tadi.

" Saya juga jaman muda dulu rutin minum jamu, katanya biar makin subur, tiga minggu nikah langsung hamil "   ucap wanita yang sedang mencuci beras, rupa nya dia pun ikut menyimak pembicaraan kami.

Setiap bulan aku harus berhadapan dengan situasi seperti ini. Aku mau datang ke sini atas bujukan Mas Rian yang akan menjadi perisai ku. Tapi dia tidak bisa melindungi ku agar terhindar dari topik soal anak lagi. Aku pun tidak enak jika mengganggu dia yang sedang berkumpul dengan bapak-bapak.

Saat ini aku benar-benar lelah. Tak ada satu pun diantara mereka yang tau apa yang sudah aku lakukan agar bisa memberikan cucu pada mertu dan keluargaku. Dan masalah apa yang aku hadapi hanya aku dan Mas Rian yang tahu.

Mungkin setiap orang selalu berfikir, kalau aku tidak mau berusaha ikhtiar lewat medis atau produk yang sudah mereka sarankan, hingga mereka terus saja memberikan saran, yang tanpa mereka sadari sudah membuat seseorang seperti di timpa beban yang begitu berat 😥

Apa yang mereka ucapkan, mengingatkan ku pada ucapan dokter kala itu. Diagnosa yang membuatku cukup terpuruk. 

Lelah?? " Iyah "

Apa mereka tau ? " Tidak "

Aku dan Mas Rian memang sudah sepakat untuk tidak menceritakan apa saja yang sudah kami lewati, sekalipun itu orang tua ku sendiri. Karena bagi kami, masalah rumah tangga tak perlu di ungkapkan pada semua orang. Seandainya semua masalah kami bagi, belum tentu mereka akan mengerti. 

*Bersambung*









 

Cucu Untuk Mereka Part 3

  Siang itu aku baru saja selesai mengerjakan semua tugas rumah. Sejenak aku putuskan untuk merebahkan diri di sofa karena aku mulai merasa ...